Quantcast
Channel: AMAN
Viewing all 1659 articles
Browse latest View live

Pemaparan Hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

$
0
0

Pemaparan Hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

Jakarta 5 September 2013. “Peta adalah alat penjajahan yang utama, dari peta ke penamaan satu wilayah, lalu ke hukum, itu prosesnya. Dalam konferensi kemarin di Samosir hal-hal yang filosofis dan historis seperti itu dibahas kembali, bukan soal-soal tehnis,” papar Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan.

“Apa sesungguhnya yang ingin dan harus kita pertarungkan ketika kita bicara peta? Membicarakan peta ada dua budaya yang bertarung. Pertama apa yang disebut sebagai The culture of sharing, budaya berbagi dan  The culture of owning, budaya memiliki yang melahirkan rezim Haki (hak kekayaan intelektual) atau rezim property right sekarang ini. Culture of sharing itu berkait dengan budaya leluhur kita, yaitu untuk semua. Kalau mau digunakan kita musyawarahkan, kalau mau dikelola kita gotong royongkan.”

“Nah sekarang dengan peta-peta yang baru, culture of sharing ini hilang diganti oleh budaya memiliki. Jika sudah dipetakan dan dapat izin itu sudah jadi hak milik dan kuasa pemegang izin, bahkan dengan masyarakat setempat pun tak mau berbagi. Nah inilah yang kami bicarakan dalam Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang berlangsung di Samosir Sumatera-Utara pada tanggal 25-28 Agustus 2013 lalu,” papar Abdon Nababan lebih jauh saat konferensi pers tanggal 5 September di Tartine Restaurant, di bilangan Senayan, Jakarta.

Di samping Abdon Nababan hadir sebagai pembicara Kasmita Widodo, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Sumaryono, Badan Informasi Geospasila (BIG) dengan moderator Wimar Witoelar. Hadir juga warga dari Komunitas Pandumaan-Sipituhuta, yaitu Arnold Lumban Batu dan Ronald Lumban Gaol.

“Saya kira tidak berlebihan jika saya katakan, apa yang kita amati dalam hutan masyarakat adat akan lebih besar pengaruhnya dari Pemilu 2014. Karena kalau pemilu itu masih punya keabsahan, dia harus ikut kehendak masyarakat dan seperti di Eropah, pemilu akhirnya akan dimenangkan oleh calon yang mengerti isu-isu,” kata Wimar Witoelar saat membuka sesi diskusi.

Wimar juga mengingatkan agar media yang hadir  ikut mengkaji isu-isu masyarakat yang muncul dalam koferensi pers ini dan apakah itu merupakan isu inti masyarakat Indonesia.

Kasmita Widodo dalam paparannya mengatakan ada berbagai pengalaman mengenai metodologi partisipasi masyarakat. Namun tidak berbeda dalam metodologi peta sebagai alat advokasi. Dengan adanya peta, semakin jelas siapa yang masuk wilayah siapa, sehingga terkelola dengan baik. Sejarah pemetaan partisipatif di Indonesia lahir dari konflik yang luar biasa seperti Komunitas Panduamaan-Sipituhuta. Pembuatan peta jangan hanya peta fisik sebagai alat tehnis, harus disertakan hak-hak budaya dan sosial di dalamnya.

Tanpa dukungan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan, target 33 juta hektar wilayah masyarakat adat tidak bisa terwujud. Peta-peta partisipatif wilayah adat bisa menjadi referensi jika Indonesia mau keluar dari krisis ini. JKPP melayani pembuatan peta partisipatif wilayah masyarakat adat, dengan tujuan agar tata kelola kekayaan alam ini berjalan dengan baik. Idealnya ada dorongan agar JKPP, BIG, AMAN bisa terus bekerjasama,” kata  Koordinator Nasional JKPP itu.

Sumaryono dalam paparannya mengutip keinginan Presiden SBY,” Saya ingin satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional”.

Sumaryono juga memperlihatkan betapa tumpang tindihnya peta wilayah dari berbagai pemangku kekuasana seperti Kehutanan, Pertambangan, BPN dan sebagainya. Diharapakan One Map Policy bisa menjadi referensi tunggal agar informasi geospasial dapat dengan mudah dan benar dimanfaatkan masyarakat secara luas. Dalam konferensi  ini warga dari Komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta, Ronald Lumban Gaol diberi waktu untuk memberi kesaksiannya.

Pada akhir konferesi pers, Abdon Nababan menghimbau agar media mengisi isu masyarakat adat sebagai gagasan untuk memperkuat negara dan bukan subversif. Sebab Tata Guna Hutan Kesepakatan itu warisan Belanda, sambil menyongsong disahkannya RUU PPHMA.***JLG


Bupati Luwu Utara Sambut Putusan MK “Hutan Adat Bukan Hutan Negara

$
0
0

Masamba, 5 September 2013 — Bupati Luwu Utara Drs. H. Arifin Junaidi, MM menyampaikan sambutan Pemerintah Luwu Utara atas putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 tentang uji materi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Sambutan ini disampaikan dalam acara dialog dan sosialisasi yang diprakarsai oleh Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu di Aula Lagaligo Kantor Bupati Luwu Utara, Kamis (05/09/13).

“Kami sebagai pemerintah daerah menyambut baik sosialisasi ini karena kegiatan ini bisa menjadi ruang sharing informasi bagi kita untuk bersama-sama mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi di tengah-tengah Masyarakat Adat Luwu Utara, khususnya komunitas Adat Seko dan Rampi, serta kembali pada konsepsi pembangunan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal apalagi di Luwu Utara kita telah ditopang Perda Adat No. 12 tahun 2004 tentang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat-istiadat dan lembaga adat, sehingga putusan MK ini tinggal kita akselerasikan dengan perda yang sudah ada agar tidak bertabrakan,” kata bupati yang akrab disapa Arjuna itu.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 16 Mei 2013 itu mengubah beberapa materi dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Di antaranya adalah pada pasal 1 poin 6 yang kini menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat”. Sebelumnya, terdapat kata negara di pasar tersebut, sehingga dengan dikeluarkannya kata Negara dari pengertian hutan adat maka kini hutan adat bukan lagi hutan Negar. Putusan MK ini final dan mengikat, kata Abd. Rahman Nur, SH, Mh, salah seorang narasumber pada acara tersebut.

Sosialisasi yang bersifat forum dialog dua arah ini dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan putusan MK, antara lain unsur pemerintahan terkait, perwakilan komunitas Masyarakat Adat Rongkong, Seko dan Rampi, mahasiswa serta insan pers.

Sosialisasi ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi sebagai bentuk tindak lanjut amar putusan MK tentang uji materi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Rekomendasi-rekomendasi ini akan segera dilaksanakan oleh pihak terkait. Di antaranya terkait investigasi kasus sengketa hutan adat Masyarakat Adat Seko dengan PT. Seko Fajar, kasus antara Masyarakat Adat Rampi dan Bosowa Group, verifikasi izin tambang dan perkebunan di kawasan hutan adat, membedah dan merevisi Perda Adat agar berfungsi demi kemajuan masyarakat, perbaikan rencana pemanfaatan kawasan adat baik oleh Pemda maupun oleh Masyarakat Adat, pengumpulan berkas-berkas kasus hutan adat untuk ditindak-lanjuti, pembentukan tim investigasi kasus kawasan adat, serta verifikasi kawasan hutan yang masuk kedalam kawasan adat. **Abdi Akbar*

Rapat Kerja Nasional Perempuan AMAN: Perempuan Adat Merapikan Barisan

$
0
0

RAKERNAS PEREMPUAN AMAN

Bogor, 6 September 2013 – Persekutuan Perempuan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN), salah satu organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) untuk pertama kali dilaksanakan pada tanggal 6-7 September 2013 di Bogor, Jawa Barat. Tema rakernas tiga-tahunan kali ini adalah Memperkuat Peran dan Posisi Perempuan Adat Dalam Implementasi Pembangunan di Indonesia.

Ada 21 utusan pengurus Perempuan Aman yang hadir, baik dari tingkat nasional maupun wilayah. Para peserta terdiri dari Dewan Perempuan AMAN Nasional, Sekretaris Pelaksana Perempuan AMAN dan Koordinator Wilayah. Sementara Samdhana dan SAIN hadir sebagai peninjau.

Agenda rakernas pertama ini adalah untuk mengesahkan dan/atau membatalkan keanggotaan Perempuan AMAN, menjabarkan Garis-Garis Besar Program Kerja (GBPK) menjadi program kerja operasional organisasi, mendengarkan laporan kemajuan penyelenggaraan oragnisasi oleh Sekpel Perempuan AMAN dan Kordinator Wilayah Perempuan AMAN, membuat Rekomendasi-rekomendasi perbaikan atas penyelenggaraan organisasi, serta menghasilkan keputusan-keputusan strategis lainnya.

Rakernas diawali dengan laporan Badriah Fade selaku Ketua Pelaksana, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Dewan Perempuan AMAN Ibu Romba’ Marannu dan Sekjen AMAN Abdon Nababan.

Dalam sambutannya, Abdon menyampaikan poin-poin penting yang harus diperhatikan oleh Rakernas Perempuan AMAN. Di antaranya terkait situasi hak dasar perempuan AMAN yang mengalami diskriminasi dan keterlibatan perempuan adat dalam setiap momentum. Abdon menyampaikan keharusan untuk melakukan berbagai perbaikan atas kinerja pelaksanaan organisasi Perempuan AMAN untuk memenuhi mandat-mandat Pertemuan Nasional Perempuan Adat.

Poin-poin penting lain yang dititipkan oleh Sekjen AMAN dalam rakernas ini adalah:

  1. Merekrut, mendidik, dan mengelola kader perempuan adat untuk menjadi pejuang dan ujung tombak atas pencapaian hak-hak dasar perempuan adat, baik di komunitas adat, pemerintahan, maupun di pergaulan internasional. Yang membedakan antara Perempuan AMAN sebagai organisasi sayap dengan AMAN sebagai organisasi induk adalah soal keanggotaan, karena AMAN berbasis komunitas sedangkan oranisasi sayap beranggotakan individu-individu warga masyarakat adat
  2. Mengelola infomasi dan pengetahuan perempuan adat di daerah-daerah yang mampu menginspirasi para perempuan adat di nasional maupun negara-negara lain.
  3. Mengumpulkan, mengelola, dan menyalurkan berbagai sumber dana, baik yang dari internal organisasi perempuan adat maupun yang dari luar organisasi.
  4. Mengelola sumber daya jaringan yang selama ini terus-menerus memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan adat, baik secara individual maupun secara organisasi.

Rakernas Perempuan AMAN ini diharapkan merumuskan hasil yang harus dapat dilaksanakan. Pertemuan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk membicarakan dan menyelesaikan kekuarangan pelaksanaan organisasi sebelumnya, sehingga Perempuan AMAN akan semakin kuat di masa mendatang.

Abdon kemudian secara resmi membuka rakernas tersebut. **Arifin Saleh

Perempuan Adat Wajib dilibatkan dalam sosialisasi putusan MK No. 35 Tentang Kehutanan

$
0
0

RAKERNAS Perempuan AMAN

Rapat Kerja Nasional PEREMPUAN AMAN

CICO Resort Bogor, 7 September 2013–Berdasarkan hasil kesepakatan sidang pada hari pertama, maka agenda hari kedua Raker PA adalah pembagian sidang-sidang komisi yang terdiri dari komisi A membahas organisasi/anggaran rumah tangga, komisi B membahas program kerja , komisi C membahas rekomendasi dan resolusi.

Hasil sidang-sidang komisi dipaparkan dalam sidang pleno yang dipimpin oleh pimpinan sidang tetap. Masing-masing komisi mempresentasekan hasil komisi yang diawali dengan komisi A bidang organisasi/Anggaran Rumah Tangga.

Romba M.S dalam presentasinya mewakili komisi A menegaskan beberapa poin penting di STATUTA yang diatur dalam ART.   Pleno pembahasan ART berlangsung alot, terjadi perdebatan yang cukup panjang diantara peserta sidang terhadap pasal-pasal krusial dalam STATUTA PEREMPUAN AMAN yang diterjemahkan kedalam ART PEREMPUAN AMAN. Salah satu poin yang menjadi  perdebatan alot  yang dibahas adalah pada pasal yang mengatur persyaratan menjadi pengurus PEREMPUAN AMAN di wilayah (koordinator wilayah) dimana salah satu syaratnya bahwa : “koordinator wilayah PEREMPUAN AMAN bukan seorang Pegawai Negeri Sipil”. Hal ini menjadi pro kontra diantara peserta dan pada keputusan akhirnya membatalkan pasal tersebut atas berbagai pertimbangan.

Dilanjutkan dengan presentase komisi B bidang program kerja dimana salah satunya Pembenahan Struktur Organisasi PEREMPUAN AMAN (Seknas, Korwil, Korda) dengan harapan adanya manajemen organisasi yang baik dan adanya protokol komunikasi yang baik antara Seknas, Korwil , Korda dan Pengurus AMAN wilayah dan daerah.

Komisi C juga menghasilkan beberapa rekomendasi dan resolusi diantaranya :

  1. Dalam menerapkan hasil putusan MK No. 35/PUU_XII/2012 wajib melibatkan perempuan adat baik dalam sosialisasi hingga implementasi di wilayah adat
  2. Dalam proses pengawalan,pengesahan hingga pengimplementasian RUU PPHMA harus ada keterlibatan perempuan adat dan memasukkan hak – hak perlindungan terhadap perempuan adat.

Kesepakatan akhir dari hasil presentasi adalah bahwa Pembahasan Hasil sidang-sidang komisi diterima oleh seluruh peserta, barulah disahkan pimpinan sidang.

Selanjutnya pembahasan penentuan tempat pelaksanaan Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara II tahun 2015. Hasil kesepakatan bahwa tempat pelaksanaan Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara II tahun 2015 mendatang diselenggarakan di Nusa Tenggara Timur.

Setelah penetapan tempat pelaksanaan Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara II, maka acara Rakernas PEREMPUAN AMAN ditutup oleh ketua Dewan Nasional PEREMPUAN AMAN, Romba M. Sombolinggi’.***Silvy

PANSUS DPR RI – RUU PPHMA Terbentuk

$
0
0

PANSUS DPR RI – RUU PPHMA TERBENTUK

Jakarta 9 September 2013. Pansus DPR RI untuk RUU Pengakuan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat resmi disahkan dengan Ketua PANSUS Hikmatul Alliyah dari F-Partai Demokrat.

Susunan Lengkap PANSUS:

Ketua : Hj Himmatul Alyah Setiawaty (Komisi 3, PD)
Wakil ketua : Deding Ishak (Komisi 3, Golkar)
Wakil Ketua : Herman Kadir (Komisi 2, PAN)
Wakil Ketua : Hendrawan (Komisi 6, PDIPerjuangan /ket. mengundurkan diri sebagai wakil ketua).

Anggota :
Partai Demokrat : Gaffar Pattape (Komisi 2), Nanang Samodra (Komisi 2), Syaiful Anwar (Komisi 2), Abdul Wahab Dalimunthe (Komisi 1), Edi Ramli Sitanggang (Komisi 3), Sbyakto (Komisi 3), Harry Witjaksono (Komisi 3).

Partai Golkar : Nudirman Munir (Komisi 3), Ade Surapriatna (komisi 3), Popong Otje Djundjunan (komisi 10),  Nasrudin (Komisi 10), Zulfadhli (komisi 10).

PDI Perjuangan : Adang Ruchiatna (komisi 8), M Nurdin (komisi 3), Zainun Akhmadi (Komisi 2), Manuel Kaisiepo (komisi 8), Hendrawan Supratikno (komisi 6)

PKS : Sumanjaya (Komisi 2), Tossy Aryanto (Komisi 11), Muhammad Nasir Djmail (komisi 3)

PAN : Yahdil Abdi Harahap (Komisi 9)
PPP : Zainut Tauhid Sa’adi (komisi 4), Moh Faisal Amin (Komisi 10)
PKB : Bahrudin Nasori (Komisi 3), Abdul Malik Haramain (komisi 2)
Gerindera : Miestariani Habie (Komisi 2)
Hanura ( Muchtar Amma (komisi 10).

Bagi komunitas masyarakat hal ini tentu jadi berita gembira dan memberi harapan bahwa ke depan masyarakat adat akan dilindungi oleh payung hukum dan Undang-Undang PPHMA.

Dengan adanya perkembangan terbaru tersebut bisa diperkirakan bahwa pembahasan-pembahasan akan berlanjut antara Pansus DPR RI dengan Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri ESDM.

Menurut informasi yang bisa dipercaya dalam pembahasan lanjutan ini draft awal DIM (Daftar Inventaris Masalah) dari pihak pemerintah sudah disiapkan oleh Kementerian Kehutanan.***(Infom PB AMAN)

Lowongan Kerja Direktur Infokom

$
0
0

Kami dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang merupakan organisasi kemasyarakatan  non profit yang bergerak untuk  pembelaan, perlindungan dan  pelayanan atas pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Saat ini  membutuhkan staf dengan posisi sebagai Direktur Informasi dan Komunikasi PB AMAN dengan kualifikasi sebagai berikut:

Mengenal dan Memahami masyarakat adat  secara familiar  terutama masalah-masalah yang dihadapi;

Memiliki pengalaman kurang lebih 3 tahun dalam pengembangan informasi dan komunikasi untuk:

  • Media informasi  dan manajemen komunikasi, termasuk media online, on air  dan cetak
  • Strategi kampanye dan advokasi khusus mempengaruhi  media mainstream
  • Membangun dan terlibat  dengan media komunitas dan media mainstream
  • Produksi bahan informasi, sistem komunikasi dan pengembangan pendidikan populer untuk
  • Bahan peningkatan kesadaran dan multi-media

Memiliki  keterampilan menulis  dalam bahasa Indonesia dan Inggris;

Kreatif dan motivasi yang tinggi terhadap tantangan masa depan media informasi dan komunikasi;

Memiliki komitmen untuk bekerja dengan organisasi secara jangka panjang;

Memiliki  kepribadian dengan kemampuan bekerja dalam tim , dalam lingkungan kerja multikultural,  pengaturan dan sistem koordinasi lintas program.

Fungsi dan Tugas Pokok

  1. Mengkoordinasikan sistem  informasi dan komunikasi  yang relevan antar  Pengurus,  anggota  dan  mitra kerja AMAN;
  2. Memastikan produksi bahan informasi dalam bentuk SMS Frontline, Gaung/majalah, Infosheet, , Kalender, web-pousting dll;
  3. Membangun sistem Bank Data (Pusat Data Masyarakat Adat) berbasis  Web – Gis;
  4. Mengembangkan  Media populer  dan bahan informasi  untuk peningkatan kesadaran dan pengaruh masyarakat adat  terhadap media mainstream;
  5. Memulai dan memperkuat cara-cara yang kreatif dan inovatif untuk menjangkau masyarakat dengan menggunakan Media populer di masyarakat adat  seperti Jurnalis Warga , Media sosial, Media cetak Gaung/majalah, radio komunitas, animasi, video/tv online, dan musik /ringtone;
  6. Mengembangkan strategi media untuk untuk mempengaruhi dan menguasai berita di media mainstream;
  7. Pengemasan dan Pengelolaan informasi yang relevan seperti siaran pers, meringkas laporan, membuat artikel untuk disebarkan di masyarakat adat dan keperluan umum malalui alat-alat media yang tersedia;
  8. Merancang dan melakukan kerjasama program strategis dengan pihak lain;
  9. Menyusun laporan perkembangan atau kemajuan terhadap program  yang dijalankan;
  10. Memberikan rekomendasi atau masukan kepada Direktur Organisasi dan Komunikasi.

Bagi yang berminat, silakan melamar melalui email: rainata@aman.or.id

Ditujukan ke Rainny Situmorang
Direktur Operasional dan Manajemen
Pengurus Besar AMAN
Surat Lamaran dan CV, kami terima paling lambat tanggal 1 Oktober 2013

Diskusi Sengketa Wilayah Adat antara Kepulauan Aru dan PB AMAN

$
0
0

Jakarta, 14 November 2013 — Delapan orang perwakilan Masyarakat Adat Kepulauan Aru mengunjungi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk melakukan diskusi dan meminta bantuan terkait sengketa wilayah di atas tanah adat mereka. Pertemuan ini disambut oleh Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, Deputi I, dan Advokasi PB AMAN. Masyarakat Adat Kepulauan Aru melalui perwakilannya menceritakan secara singkat dan detail kronologis sengketa tanah yang terjadi di daerah mereka.

Sengketa ini bermula dari masuknya PT Menara Group yang berjumlah 28 anak perusahaan ke dalam wilayah adat Kepulauan Aru. Kedatangan mereka ini disinyalir untuk melakukan investasi terhadap sumber daya alam yang ada di Kepulauan Aru, yang sudah barang tentu akan masuk sampai ke hutan-hutan adat milik masyarakat adat di Kepulauan Aru. Wilayah yang dipersengketakan seluas 626.900 hektare. Sampai pada kedatangan perwakilan masyarakat adat Kepulauan Aru di PB AMAN, belum ada perubahan positif yang terjadi di lapangan bagi mereka. Konflik dan kontak fisik sudah mulai terjadi, baik itu konflik eksternal maupun internal atau antar masyarakat adat itu sendiri.

AMAN kemudian menjadi salah satu harapan terbesar sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Setelah sebelumnya kedatangan mereka ke Jakarta ditolak dan dipermainkan oleh pihak Kementerian Kehutanan. Mereka meminta AMAN membantu mereka memperjuangkan hak-hak ulayat mereka sebagai masayarakat adat di Kepulauan Aru, yang mana keinginan itu disambut baik oleh Sekjen AMAN Abdon Nababan. Abdon menegaskan bahwa AMAN tidak bisa bekerja sendiri, namun akan mendampingi masyarakat adat Kepulauan Aru berjuang di depan untuk mempertahankan hak-hak mereka.

Agustinus, seorang perwakilan warga Aru, menyampaikan keinginan mereka agar IPK perkebunan, pertambangan, HPH, dan SK pelepasan hak kehutanan dicabut dari wilayah adat Kepulauan Aru. ***Monica

Masyarakat Adat Lamadau Minta PT Gama Reksa Ditutup

$
0
0

Nanga Bulik 18 November 2013. Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN Lamandau) Kalimantan Tengah, bersama lebih dari seribu orang warga menggelar aksi menuntut penutupan pabrik kelapa sawit PT Gama Reksa di wilayah adat mereka. Sejak pagi mereka bergerak ke Kantor Bupati Lamandau dan meminta agar Perda Masyarakat Adat Kabupaten Lamandau segera disahkan sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No 35. Aksi ini adalah bentuk ekspresi kekecewaan Masyarakat Adat Lamandau atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusaahan PT Gama Reksa.

Menurut Pak Yosef,  (Ketua BPH Pengurus Daerah AMAN Lamandau) ada dua pelanggaran yang dilakukan oleh PT Gama Reksa, pertama perusahaan kelapa sawit tersebut telah menyerobot wilayah masyarakat adat seluas 856 hektar dari luas izin koordinat HGU yang dimiliki oleh PT Gama Reksa. Oleh karenanya masyarakat adat Lamandau meminta wilayah yang telah digarap tersebut dikembalikan pada masyarakat adat atau komunitas pewarisnya.

Disamping itu kewajiban kontribusi PT Gama Reksa kepada masyarakat sekitar lokasi HGU sebesar 20 % dari hasil keuntungan  perusahaan hingga saat ini tidak pernah direalisasikan.

Dari Kantor Bupati Lamandau massa mayarakat adat kemudian bergerak menuju kantor PT Gama Reksa. Di depan kantor perusahaan sawit ini komunitas Masyarakat Adat berencana akan bertahan dan menginap hingga tuntutan mereka dikabulkan. ***


Rilis Pers: Masyarakat Adat Nanga Bulik Blokir Perusahaan Sawit

$
0
0

Lebih dari seribu anggota masyarakat adat Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah masih memblokir pintu masuk PT Gemareksa Mekarsari hingga Selasa (19/11) siang. Masyarakat memblokir pintu perusahaan sawit tersebut sejak Senin (18/11).

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Lamandau melaporkan, PT Gemareksa Mekarsari telah menyerobot wilayah masyarakat adat seluas 856 hektare dari luas izin kordinat HGU yang diberikan pada perusahaan sawit tersebut. “Oleh karenanya masyarakat adat Lamandau meminta wilayah yang telah digarap tersebut dikembalikan pada masyarakat adat atau komunitas pewarisnya,” kata Ketua PD AMAN Lamandau Yosep Maran.

Aksi ini juga menuntut agar PT Gemareksa Mekarsai memenuhi kewajiban membangun kebun rakyat. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.5/2011, perusahaan perkeunan yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat setidaknya seluas 20 persen dari total luas areal yang diusahakan.

“Manajer perusahaan di lapangan sudah mengakui dan menyanggupi kebun rakyat itu, namun masih menunggu keputusan dari manajemen perusahaan di Jakarta,” tutur Yosep, Selasa (19/11).

“Kami akan tetap menutup pintu perusahaan hingga hak kami dipenuhi,” tambahnya.

Basis data daring milik The Land Matrix mencatat, investor sekunder PT Gemareksa Mekarsari adalah Felda Global Ventures Holdings Bhd. dan Lembaga Tabung Haji. Keduanya milik Malaysia dengan kontrak seluas 6.398 hektare.

Pada Senin, PD AMAN Lamandau juga melakukan aksi orasi di depan Kantor Bupati Lamandau. “Kami meminta agar Bupati Lamandau segera melaporkan PT Gemareksa Mekarsari ke Kapolres Kabupaten Lamandau dan Kejaksaaan Negeri Kabupaten Lamandau,” tulis Yosep di surat Pernyataan Sikap Komunitas-Komunitas AMAN Lamandau yang ditembuskan ke Pengurus Besar AMAN Jakarta, bertanggal 18 November 2013.

PD AMAN Lamandau juga menuntut agar bupati mencabut izin PT Gemareksa Mekarsari di Kelurahan Naga Bulik dan Desa Bunut seluas sekitar 3000 hektare karena tidak memiliki IUP, HGU, dan izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan.

Masyarakat Adat Pandumaan–Sipituhuta Digiring Untuk Bermitra Dengan PT.TPL

$
0
0

Pandumaan, 17 November 2013. Sebuah surat yang diterima masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Humbang Hasundutan melalui Camat Pollung pada tanggal 6 November 2013 lalu perihal Pelaksanaan Pemetaan Tombak Haminjon di dalam Areal kerja PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sementara isi dan maksud dari surat tersebut kurang dipahami oleh seluruh tokoh adat dan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Lalu lewat surat balasan yang dikirim kembali oleh pengurus kelompok tani kemenyan mengundang Kepala Dinas Kehutanan serta Camat Pollung hadir untuk menjelaskan dan memaparkan isi serta maksud surat tersebut pada hari minggu tanggal 17 November 2013 bertempat di SD Inpres Desa Pandumaan.
Dalam pertemuan tersebut hadir Heppi Silitonga selaku Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan , Sumitro Banjar Nahor Camat Pollung, Sekjen AMAN ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ) Abdon Nababan serta 60-an orang masyarakat  adat  Desa Pandumaan-Sipituhuta.

Heppi Silitonga mengatakan sehubungan dengan kesepakatan utusan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta terkait dilanjutkannya pemetaan batas luar tombak haminjon per kelompok hamparan serta menindaklajuti arahan dan petunjuk Dirjen Bina Usaha Kehutanan pada tanggal 28 Oktober 2013 lalu di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut utusan masyarakat adat komunitas AMAN ini diarahkan untuk bermitra dengan PT. Toba Pulp Lestari.

Kepala Dinas Kehutanan tersebut memaparkan bahwa kewenangan terkait masalah hutan ada pada Menteri Kehutanan dan pemerintah kabupaten hanya bisa memfasilitasi. Oleh karena itu untuk mempercepat penyelesaiannya dilakukan pemetaan supaya bisa dilakukan MOU (kesepakatan) dengan pihak PT.TPL  untuk dimasukkan dalam rencana kerja tahunan perusahaan.

OP Pebri Lumban Gaol salah seorang warga menyampaikan pendapatnya terkait bentuk kemitraan yang ditawarkan. “Kami menolak dan kami tidak mau berkerja sama dengan TPL mengenai masalah pengukuran dan luas wilayah sudah pernah dilakukan bersama  Pemkab, perusahaan sekaligus masyarakat adat dan hasil pemetaan itu masih ada pada kami, juga sudah diserahkan ke Kementerian Kehutanan. Namun sekarang diminta melakukan pengukuran lagi jadi untuk itu kami meminta pihak pemerintah menyatakan bahwa pengukuran yang dilakukan waktu itu dibatalkan dulu atau dinyatakan tidak sah melalui surat resmi supaya semua lapisan masyarakat mengetahui dan mengerti.

Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan; “untuk mempercepat proses penyelesaian konflik meminta masyarakat adat dan juga pemerintah supaya bersama-sama mencari jalan keluar dengan cara mencek ulang kelapangan terkait pengukuran yang penah dilakukan oleh masyarakat dengan pemerintah, namun tidak perlu melibatkan pihak perusahaan supaya lebih efektif dan cepat serta bekeja berdasarkan putusan MK NO.35/PUU/X/2012 yang menyebutkan hutan adat bukan lagi hutan negara, dengan demikian hutan adat sudah menjadi hak milik masyarakat adat,”papar Abdon Nababan

Rapat tersebut merekomendasikan agar masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta meminta supaya pemerintah kabupaten yang di wakili oleh camat dan Dinas Kehutanan tingkat Kabupaten supaya memberikan waktu dalam beberapa hari ke depan jawaban yang hasrus dipikirkan secara matang terkait dengan masalah pengukuran tombak haminjon (hutan kemenyan) sebagai penopang kehidupan sekarang dan generasi yang akan datang. ***Lambok Lumban Gaol

Komunitas AMAN Kalteng Fasilitasi Pelatihan Pemetaan Partisipatif

$
0
0

Jika biasanya pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat di Kalimantan Tengah  difasilitasi oleh Pengurus Daerah dan Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), kini komunitas adat sudah mampu memfasilitasi pelatihan tersebut. Komunitas Tumbang Bahanei telah dua kali memfasilitasi pelatihan pemetaan komunitas AMAN Kalimantan Tengah lainnya.

Pertama pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat Komunitas Tumbang Marikoi  pada bulan September lalu,  kemudian pelatihan di Komunitas Karetau Sarian pada tanggal 8 November.

Tim fasilitator Komunitas Tumbang Bahanei terdiri dari tokoh masyarakat yaitu Otot dan Meok, serta para pemuda adat yaitu Hendro, Irawandi dan Bambang. Selain mengajarkan teori dan konsep pemetaan wilayah adat, mereka juga berbagi pengalaman tentang proses pemetaan yang telah mereka laksanakan.

“Ini adalah bentuk kepedulian kami sebagai sesama komunitas AMAN, bagaimana masyarakat adat itu harus saling bahu membahu agar tidak kalah” ucap Bambang.

Bambang, Hendro dan Irawandi mempelajari konsep dan praktek pemetaan wilayah adat sejak pelatihan fasilitator pemetaan yang dilaksanakan Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Tengah di Komunitas Tumbang Bahanei pada bulan Mei lalu. Setelah itu mereka mendapat pengalaman dari pemetaan wilayah adatnya sendiri. Kini mereka merasa bertanggung jawab untuk membagikan ilmu tersebut kepada komunitas AMAN lainnya.

Di sisi  lain, Otot dan Meok bertugas memberikan semangat untuk menguatkan persatuan komunitas dengan bercerita tentang suka duka dalam proses menumbuhkan partisipatif seluruh masyarakat  hingga komunitas Tumbang Bahanei bisa menyelesaikan lokakarya tapal batas wilayah adat dan tinggal menunggu proses digitalisasi peta manual yang telah mereka buat.

Ikatan emosional dua komunitas AMAN terasa begitu kental pada saat pelatihan berlangsung. Bagaimana komunitas Tumbang Bahanei dengan tulusnya menempuh perjalanan jauh untuk membagikan ilmu dan pengalaman, lalu komunitas Karetau Sarian membantu mereka dalam hal pengadaan akomodasi perjalanan.

“Saya sangat senang dan bangga dengan kesediaan Komunitas Tumbang Bahanei yang telah membantu kami dalam pelatihan” ungkap Saniun Surai, tokoh masyarakat Karetau Sarian.

Kondisi seperti inilah yang harus dipertahankan bahkan dijadikan sistem dalam pengorganisiran komunitas AMAN. “Ini bukan hal yang luar biasa, ini akan menjadi wajar, ketika komunitas merasa bahwa masalah yang dihadapi masyarakat adat sekarang adalah tanggung jawab komunitas, bukan hanya pengurus AMAN” ungkap Rinting Deputi Umum AMAN Wilayah Kalimantan Tengah.

“Kita tidak menjanjikan apapun, tapi lihat mereka mau bergerak dan saling mengorganisir, ini adalah salah satu bentuk nyata dari pengkaderan,” tambahnya.

Ini juga membuktikan bahwa AMAN adalah organisasi masyarakat yang berbasis massa. Di mana kekuatan sesungguhnya ada pada massa yang sadar dan ingin bangkit merebut hak-haknya yang telah tercabut selama ini. ***Pebri

Credit Union Pancur Kasih Fasilitasi Strategic Planning CU di Rumah AMAN

$
0
0

Jakarta 22 November 2013. “Kebutuhan terhadap pengembangan dan pemberdayaan  ekonomi komunitas masyarakat adat sudah menjadi perhatian serius Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sejak Kongres AMAN ke-III di Pontianak dan IV di Tobelo. AMAN selalu mengundang pengurus CU Pancur Kasih untuk membagikan pengalamannya. Pada Rakernas AMAN ke III di Palangkaraya Februari 2013 lalu ada sarasehan digelar secara khusus dan penandatanganan MOU dengan CU Pancur Kasih,”ujar Mahir Takaka Deputi III PB AMAN membuka acara Strategic Planning yang akan berlangsung dari tanggal 22 – 24 November di Rumah PB AMAN bilangan Tebet Timur Dalam.

Lebih jauh Mahir Takaka berharap agar dalam Lokakarya Strategic Planing ini fasilitator Pancur Kasih bisa membagikan pengalamannya serta peran-peran tehnis dan hal apa saja yang diperlukan dalam membangun CU. Sebab sudah banyak yang berharap CU segera bisa dibentuk di daerahnya. Ada lima wilayah yang sudah siap mengembangkang potensinya dengan model Credit Union ini.

“Pertemuan dengan teman-teman kali ini agak unik, karena selama ini teman-teman semua yang hadir di sini tahu bahwa saya adalah aktifis masyarakat adat. Sering bicara soal hak-hak masyarakat adat, soal lingkungan, bagaimana kita bicara advokasi melawan sawit, melawan tambang dan macam – macam, jadi isu-isu seputar itu. Rasanya saya belum pernah berbicara satu forum, satu ruangan dengan teman-teman semua bicara tentang Credit Union. Uniknya seperti itu,” ujar John Bamba.

Sebagai fasilitator perencanaan strategis dalam pendirian CU ini John Bamba menyampaikan hal-hal penting yang harus diperhatikan peserta. Ada berbagai macam pemahaman, pengalaman dan perspektif mengenai CU, namun dalam Lokakarya ini kita mencoba berbagi perspektif yang dibangun oleh CU Pancur kasih. John Bamba juga mempersilahkan peserta untuk bertanya jika ada hal-hal yang kurang dipahami untuk menggali dan memperdalam pemahaman. Mendirikan CU niat utamanya bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Tapi kawan-kawan AMAN sekalian harus meyakini bahwa Credit Union bisa digunakan sebagai proyek untuk membantu masyarakat dalam peningkatan ekonomi.

Kemudian John Bamba menyampaikan secara singkat rejarah lahirnya gerakan Credit Union. Semula ada banyak orang berpikir bahwa Credit Union lahir di Jerman, namun faktanya Credit Union pertama kali didirikan di Inggeris oleh Robert Owen dan William King. Memang kemudian  pertumbuhan Credit Union berkembang pesat di Jerman. Pertama kali didirikan oleh Franz Herman Schulze namun perkembangan pesatnya di tangan seorang walik kota bernama Freidrich Raiffeisen Delitzsel saat krisis ekonomi melanda Jerman.

Labih Jauh John Bamba yang aktif sejak tahun 1999 mengurus CU Pancur Kasih ini  menerangkan bahwa ada tiga pilar penting bagi pengembangan CU yaitu Pendidikan, Solidaritas dan Swadaya.

Gerakan CU Pancur Kasih adalah gerakan yang membangun filosofi petani di Kalimantan, yaitu bagaimana petani untuk bertahan hidup yang dikembangan oleh AR Mecer (pendiri CU Pancur Kasih) yaitu 1.  Makan-minum 2. Cocok tanam 3. Sosial 4. Ritual. Keempat materi inilah yang akan diberikan dalam Lokalatih ini, diharapakan para aktivis di Jabodetabek berperan secara aktif dalam mengembangkan Credit Union.

Lewat Lokakarya ini para peserta Lokakarya bisa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang keunggulan Credit Union Gerakan berbasis pada Konsepsi Filosofi Petani dalam upaya melakukan pembebasan bidang ekonomi. Sebagai tahap awal gerakan CU adalah kesediaan peserta untuk menjadi pendiri, anggota atau pengurus Credit Union yang akan didirikan di JABOTABEK.*** JLG

Ritual Buka Sasi Ikan Lompa : Kedaulatan Protein Negeri Haruku

$
0
0

Suasana pagi sangat cerah saat tiba di Bandara Pattimura, Ambon. Kemudian bergabung dengan teman-teman Pengurus Wilayah AMAN Maluku menuju Pulau Haruku. Dari Kota Ambon rombongan kami menuju Pelabuhan Tulehu sekitar 45 menit. Dari Tulehu kami carter speed boat ke Pulau Haruku dengan jarak tempuh 30 menit, namun jika pada saat musim timur hal ini sulit ditempuh karena ombak tinggi.

Persiapan Buka Sasi ikan Lompa tahun 2013 ini didukung oleh Pemerintah Pusat lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Pada acara pembukaan Buka Sasi Lompa yang dihadiri oleh Wakil Bupati Maluku Tengah kemudian dilanjutkan acara makan Patita, dimana seluruh warga Negeri Haruku dan para tamu makan bersama dengan menu utama khas masakan Negeri Haruku.

Pukul 19.00 wib para kewang kemudian berkumpul dan mulai melakukan ritual panas sasi di rumah kewang. Seusai ritual para kewang kemudian berjalan mengelilingi kampung dan berhenti di setiap batu pamale. Setiap ada pemberhentian dilakukan peniupan tahuri dan pemukulan gendang sebagai penanda/ pengumuman kepada warga masyarakat adat bahwa akan dilakukan buka sasi. Seusai peniupan tahuri dan pemukukulan gendang, sekretaris kewang membacakan aturan adat dalam buka sasi dan pengambilan ikan lompa yang wajib dipatuhi oleh seluruh warga adat.

Ada lima batu pamale yang didatangi, setelah selesai pemimpin kewang kembali kerumah kewang untuk mempersiapkan sajian makanan untuk para kewang. Pukul 03.00 kemudian seluruh kewang berkumbul duduk di depan meja yang telah dipenuhi oleh sajian makanan dan minuman adat khas Negeri Haruku. Ritual ini disebut sebagai makan lesa para kewang. Makanan semuanya menggunakan bahan alam, seperti tempat makan memakai daun pisang dan tempat minum menggunakan tempurung kelapa, ceret tempat air dari buah kalabasa (buah maja).

Selesai makan lesa para kewang menyiapkan proses bakar lobe. Lobe terbuat dari pelepah daun kelapa yang kering dikumpulkan hingga bentuknya seperti tiang panjang yang bersumbu. Pembakaran lobe dimulai dengan ritual adat. Ada 15 lobe yang dibakar secara bergantian. Makna dari bakar lobe adalah memanggil ikan lompa untuk masuk ke muara sungai.

Setelah Lobe terbakar semuanya waktu menunjukan sudah pukul 06.00 WIT, para kewang , tamu-tamu dan warga menyaksikan bagaiman ikan lompa datang dari laut kemudian masuk ke muara sungai secara bergerombolan. Sekitar pukul 09.00 WIT pemimpin kewang kemudian menutup muara sungai dengan pagar jaring, agar pada saat sasi dibuka ikan lompa tidak dapat keluar kelaut.

Tanggal 23 november 2013 buka sasi di Negeri Haruku dilaksanakan, ribuan warga adat Negeri Haruku dan para tamu sudah berkumpul di sekitar pinggiran Sungai Learisa Kayelly. Ada warga yang membawa jala, ember dan perahu untuk menangkap dan sekaligus menjadi wadah ikan lompa. Pukul 10.00 WIT pemimpin kewang kemudian memukul gendang dan raja Negeri Haruku menabur jala pertama ke sungai sebagai tanda sasi telah dibuka. Ribuan Masyarakat Negeri Haruku bersuka cita baik anak2, pemuda/i dan orang2 tua menangkap ikan lompa, tidak ketinggalan juga para tamu, media dan pemerintah turun ke sungai bergabung dengan warga masyarakat adat Negeri Haruku.***Arifin Saleh

Buka Sasi Starts in Negeri Haruku

$
0
0

Arifin Saleh wrote about Buka Sasi Ikan Lompa from Haruku Island. It is an indigenous ritual to end sasi period and summon lompa fishes from the sea to rivers. Sasi period defines temporary prohibitions on taking natural resources.
_________________

It was a bright morning when I arrived in Pattimura airport, Ambon on Saturday (23/11). I then joined colleagues from AMAN Regional Chapter in Maluku to depart for Haruku island. From Ambon, we went to Tulehu port which took us about 45 minutes. To reach Haruku we rented a speed boat and took 30 minutes. The trip would take longer when east wind blows, which makes sea waves bigger.

This year’s Buka Sasi Ikan Lompa is supported by the National Government – through its Ministry of Education and Culture – and Maluku Tengah regency government, and was attended by Vice Regent of Maluku Tengah. The opening ceremony then continued to Patita, a ritual when Negeri Haruku people and guests are having local culinary.

At 7 pm, Kewang (people who arrange sasi rules) gathered and conducted Panas Sasi (a ceremony to initiate Buka Sasi) in Kewang House. After the ceremony, all Kewang walked around the village and stopped in every pamale stone. Every time they stop, they have to blow tahuri and beat an indigenous drum.

After blowing tahuri and beat the drum, the secretary of Kewang read respective rules of Buka Sasi and catching lompa fishes, that the indigenous people of Negeri Haruku must obey.

There were five pamale stones Kewang visited. After visiting them all, Chief of Kewang returned to Kewang House and prepared meal for all Kewang. At 3 am, all Kewang gathered around the table full of Negeri Haruku’s food and beverage. This ritual is known as lesa. All are served using natural material, e.g. banana leaf as plate, coconut shell as glass, and kalabasa as water pot.

After lesa, Kewang prepared to burn lobe. Lobe is made of dry coconut leaves collected and arranged to be a pole with fuse. It is started with an indigenous ceremony. There were15 lobe to burn one by one. Burning lobe means to summon lompa fishes to the river.

After all lobe been burned, when it was already 6 am, all Kewang, villagers, and guest watched lompa fishes swimming from the sea to the estuary. At 9 am, Chief of Kewang closed the connection between estuary and the sea with net so fishes wouldn’t swim back to the sea.

Buka Sasi in Negeri Haruku was conducted on 23 November 2013. Thousands of Negeri Haruku people and guests gathered in the bank of Learisa Kayelly river. Some people brought fish net, basin and boat to catch fishes. At 10 am, Chief of Kewang beat the drum and the Indigenous Chief of Negeri Haruku threw the first fish net to the river to officially initiate Buka Sasi. People, including guests and journalists, then got into the river to catch lompa.

Budaya Mapas

$
0
0

Budaya Mapas

Nyaki kuh tatap pai’ mu, akam icak muh panyakit kare bereng
Nyaki kuh baun atoi muh, angat atoimu sarongin, tau malaksana dengan atoi barasih
Nyaki kuh liko muh, nonga kakuatan utok
Nyaki kuh balo muh, akam nagkalau pikiran je panik

(Sebuah doa diucapkan Mantir Adat sembari menempelkan uang logam yang dilumuri darah ayam ke bagian tubuh mereka)

Pagi di hari pertama pelatihan, enam piring diletakkan di atas tikar khusus yang terbuat dari rotan. Di dalam piring tersebut ada beras, buah pinang, bajakah tengan, uang logam, telur ayam dan manas (sejenis batu-batuan).

Ada juga daun sawang dan daun samba belum yang diikat jadi satu, gelas berisikan air putih yang didalamya ada dedaunan yang telah diikat juga, serta seekor ayam kampung yang masih hidup.

Ritual pun dimulai. Secara bergantian, tiga mantir adat mengangkat ayam kampung ke atas kepala para fasilitator pelatihan sembari mengucapkan doa. Para fasilitator dipersilahkan menghadap ke barat dulu atau yang sering disebut dengan Pombolup Ondou (Matahari Terbenam), untuk melepas semua hal yang tidak baik bersama dengan terbenamnya matahari, setelah itu menghadap ke timur, sering disebut dengan Pombulum Ondou (Matahari Terbit), agar kehidupan kita selalu bercahaya seperti matahari yang bersinar sepanjang hari.

Setelah itu ayam kampung tersebut disembelih, kemudian darahnya dicucurkan ke dalam piring kosong. Darah itu akan menjelma menjadi air Kaharingan bolum yang akan menolak hal-hal tidak baik terbawa dari luar.

Darah yang menjelma jadi air Kaharingan bolum itu ditempelkan ke  rambut, dahi, dada, dan kaki, melalui perantara sebuah uang logam yang diartikan sebagai sesuatu yang keras dan kuat untuk menguatkan roh. Setiap bagian tubuh tersebut diberikan wejangan yang berbeda-beda.

Ketika ditempelkan ke rambut, harapannya agar semua yang tidak baik lewat begitu saja seperti angin yang lewat di atas kepala. Di dahi, agar diberi kekuatan pikiran agar tidak mudah menyerah dalam  melakukan pekerjaan. Di depan dada, untuk menguatkan hati pada tujuan semula, walaupun berbagarai rintangan dihadapi. Di kaki, agar kita bisa menginjak penyakit yang ada disekitar kita.

Segelas air putih yang telah diberi minyak kemudian dicipratkan ke seluruh bagian tubuh dengan perantara dedaunan yang telah dicelupkan pada air itu. Ini sering disebut dengan Tampung Tawar, gunanya untuk menenangkan diri  atau sering disebut dengan Manyarongin (Mendinginkan), sambil mengucapkan wejangan-wejangan.

Prosesi ritual yang terakhir ditutup dengan mengikatkan Manas bersama Bajakah Tengan di tangan kanan para fasilitator. Manas terbuat dari batu dan melambangkan sesuatu yang kuat, sulit untuk dihancurkan, Bajakah Tengan adalah akar merambat yang sulit sekali dipotong. Jadi prosesi ini bertujuan untuk mengikatkan kekuatan niat kita bersama perlindungan leluhur agar tidak muda dikalahkan oleh sesuatu yang bertentangan dengan niat kita tersebut.

Manas tersebut diikatkan pada tangan kanan, karena tangan kanan dianggap sebagai bagian tubuh yang paling sering digunakan dalam  aktivitas kita sehari-hari. Sehingga setiap kita melakukan apapun, kita akan melihat manas tersebut, dan teringat akan niat kita yang kuat.
Komunitas Dayak Uut Danum Karetau Sarian percaya bahwa para Leluhur senantiasa bersama mereka untuk melindungi anak cucu dan wilayahnya. Sehingga apapun aktivitas yang dilaksanakan untuk kehidupan mereka dan wilayahnya, wajib meminta izin atau permisi pada Para Leluhur. Agar orang-orang yang melaksanakan aktivitas tersebut dilindungi dari segala hal yang tidak baik, dan aktivitas tersebut dapat membuahkan hasil yang berguna bagi kehidupan komunitas. Karena itu ritual ini disebut dengan “Mapas”, yang artinya Menolak Bala

Selain itu, ritual ini juga adalah ucapan selamat datang sekaligus memberitahukan bahwa”kalian telah memasuki wilayah adat kami, kalian akan dilindungi oleh Para Leluhur kami”.

Ritual adat membawa kita ke dalam sebuah kesadaran. Kita menjadi sadar bahwa selain manusia, ada alam di sekitar dan kuasa yang lebih tinggi dari pada kita, yaitu para leluhur dan Sang Pencipta. Itulah yang membuat kita selalu punya harapan, karena pekerjaan kita selaras dengan keharmonisasian alam serta penyertaan yang mahakuasa.

Inilah salah satu wujud relasi spiritual antara manusia, alam, dan sang pencipta. Relasi yang membuat masyarakat adat mempunyai kepekaan yang lebih pada diri sendiri, sesama, alam dan para leluhurnya.

Sebagai contoh kepekaan tersebut, masyarakat adat yang tinggal turun temurun di hutan adatnya, tidak akan sembarangan memanfaatkan hasil hutannya. Hasil hutan dinikmati secara bersama tanpa saling berebut hak. Perlunya mempertimbangkan keberlangsungan hutan jika mengambil hasil hutan, karena selain untuk kehidupan di masa mendatang, hutan juga mempunyai tempat-tempat sakral untuk menghubungkan masyarakat adat sekarang dengan para leluhurnya.

Kini tinggal bagaimana relasi spiritual itu, bukan hanya hadir pada moment tertentu saja. Tetapi menjadi bagian dari kehidupan dan berbangsa dan bernegara di negeri ini. karena, pada dasarnya seluruh masyarakat di negeri ini lahir dari leluhur masyarakat adat dan juga dibesarkan oleh alam.(pebri)


AMAN Selenggarakan Konsultasi Nasional II Mengenai Perubahan Iklim Terkait Reducing Emissions From Degradation and Deforestation (REDD+)

$
0
0

Kompleksitas Kebijakan Pemerintah Tentang Kehutanan dan Penerapan Strategi Nasional REDD+ Serta Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat

Jakarta 26 November 2013. Ketidak harmonisan perundang-undangan dapat terjadi baik  secara horizontal (antar sektor) maupun vertikal (antara pemerintah pusat maupun  daerah). Untuk mengurai ketidak harmonisan tersebut serta untuk menggali masukan dari para ahli dan utusan pemerintah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengadakan Konsultasi Nasional ke II pada tanggal 26 November 2013 di Hotel Grand Alia Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat.

Pembicara dalam konsultasi nasional ini hadir William Sabandar (UKP4 / Tim Satgas REDD +), Mina Susana Setra (Deputi II PB AMAN), Andiko Sutan Mancayo (Huma) dengan moderator Rukka Sombolinggi’.

Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam sambutannya mengatakan  bahwa Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim ini. Kami mengidentifikasi bahwa sebagian besar kelompok masyarakat adat sangat rentan, khususnya masyarakat adat di pulau-pulau terpencil. Untuk itu kami dari  AMAN, ingin melihat secara terintegrasi, di mana posisi masyarakat adat bisa melakukan upaya terbaiknya dengan melakukan mitigasi, mencegah yang terburuk dan kami mengagendakan itu secara kuat yakni mempersiapkan perubahan iklim, sebagai fenomena yang hadir di tengah masyarakat adat.

Lebih jauh Abdon Nababan menyampaikan harapannya agar dalam konsultasi nasional ini ada peta jalan bagi masyarakat adat. “Saya melihat UKP4, lalu ada Stagas REDD yang akan habis masa tugasnya. Saya tahu prosesnya berat dan kita ingin mendiskusikannya dan bagaimana perkembangan yang ada selama ini ?. Merespons Keputusan MK no.35, lalu meletakkan perubahan hukum, ketika RUU masyarakat adat disahkan, tentu masih banyak lagi tantangan lainnya. Di DPR ada dua Rancangan Undang Undang yang mempengaruhi kebijakan. Ada RUU Desa dan RUU Pertanahan, kita akan diskusikan ini.

Strategi AMAN selain mendorong kebijakan pemerintah, masyarakat adat juga harus memperbaiki diri pada tingkat bawah. Membersihkan lembaga adat, merevitalisasi kelembagaan dan juga mengkonsolidasikannya. Karena kita tahu di tengah masyarakat adat terjadi kekacauan. Apakah lembaga adat lebih kuat atau malah semakin buruk ?,

Dalam pertemuan ini kita bisa terus terang dan jujur, agar rencana AMAN, bisa lebih baik hingga 4 s/d 5 tahun ke depan hal ini penting dibahas dalam pertemuan konsultasi kali ini. Dalam kesempatan ini, saya tidak berlama-lama, kami mengundang teman dari DNPI, sehingga tahu perkembangan yang ada, dari Kemenhut dan kementerian lain, agar pertemuan ini melahirkan keputusan dan rancangan kebijakan di awal yang bisa dipertanggungjawabkan dan paling peting implementasinya.

Sebagai pembicara pertama William Sabandar mengatakan bahwa tema ini agak tinggi, namun dia akan focus pada bahasan REDD+ dengan tantangan dan peluangnya harus diakui, sebagai sesuatu yang sangat kompleks. Kita ingin merubah paradigma pembangunan, kalau kita lihat STRANAS REDD+, dimana ada lima pilar. Salah satunya adalah merubah paradigma, dimana pemerintah tidak lagi di depan, tetapi bersama-sama dengan masyarakat mendorong pembangunan.

“Pada banyak kasus dapat kita temui bahwa pemerintah sendiri adalah masalah bagi pembangunan. Maka belajar dari itu, pemerintah harus bermitra. Kenapa dengan masyarakat adat ?. Karena di sana berasal dengan implikasi, masyarakat adat sebagai subjek dan saling mengisi bahwa proses yang melibatkan masyarakat adat sedang berjalan, memang diakui belum optimal karena baru belajar. Ini adalah perubahan paradigma yang sangat penting.

Ada keinginan hati dan batin kita, untuk melibatkan masyarakat adat dalam strategi nasional terkait REDD+. Apa yang mau kita lakukan hari ini ?. Dengan konsultasi publik yang luas mungkin belum sempurna. Tapi saya katakan ini bagaikan living document yang akan terus berlaku dan tolong pakai meski belum sempuna namun bisa terus untuk  disempurnakan.

Pembicara ke-dua Mina Susana Setra menyampaikan,” bahwa kita semua mengetahui iklim berubah, lalu apakah kelakuan kita sebagai manusia berubah?,” tanya Mina pada para hadirin mengawali pemaparannya.  Seiring dengan berjalannya waktu peluang pengakuan terhadap masyarakat adat meningkat, maka munculah statement “No Right, No REDD. Kalau tidak ada perlindungan masyarakat adat, maka REDD tidak bisa dilaksanakan. Apa saja prasyarat dan persoalan yang dibutuhkan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim?.

Dalam deklarasi Sinar Resmi menuntut prasyarat yaitu ada banyak kearifan lokal terkait pengelolaan wilayah ini yang perlu didukung.

Dari tahun 2009, AMAN menyiapkan proses adaptasi perubahan iklim, sangat panjang diceritakan. Namun kita harus sepakat untuk membuat profil didukung perencanaan partisipatif. Ini yang berhubungan dengan agenda perubahan iklim nasional dan internasional. Hal paling penting bagi masyarakat adat adalah penguatan komunitasnya.

Sebenarnya ini respon dari berbagai perkembangan sebelumnya, misalnya deklarasi PBB untuk pengakuan masyarakat adat. Hal ini memicu perkembangan lebih jauh pada tingkat nasional. Lalu tahun 2006, presiden membuat pernyataan pada hari masyarakat adat nasional. Presiden mengakui bahwa selama ini telah salah memperlakukan masyarakat adat, sehingga perlu ada ranah hukum yang melindungi masyarakat adat.

Kalau melihat perkembangannya, dari tahun 2009, apakah ada dilihat dari proses ini ?, misalnya ada koloborasi yang lebih baik antara masyarakat adat dengan Pemerintah, dipresentasikan dengan MoU dengan Komnas HAM, tentang Petisi MK No.35, lalu mainstreaming dengan kearifan tradisional, lalu ada MoU AMAN dan BPN, untuk pengakuan kolektif, atas pengakuan masyarakat adat, ini akan mendorong perkembangan berikutnya.

Kita berharap Pemerintah mendukung pemetaan yang dilakukan AMAN, sehingga mempercepat poses pemetaan wilayah masyarakat adat secara partisipatif.

Apakah bapak dan ibu pernah melihat ada informasi terkait REDD yang derhana dan mudah diphami ?, belum ya, maka perlu mengemas yang lebih sederhana. Yang terahir sebagai rekomendasi, kami mengharap kelambagaan REDD+, bukan hanya konsultan dan observer, tapi juga ikut sebagai pengambilan keputusan Sementara itu Andiko Sutan Mancayo menyampaikan pendapatnya bahwa butuh situasi yang jernih. Perlu ada panduan karena beberapa waktu lalu di Kemenhut, saya membaca aturan pelepasan wilayah hutan karena keterlanjuran.

Nah saya kira badan REDD akan menjadi kawan dalam diskursus ini. Lalu, dalam peta jalan, kita tidak bisa menaruh semua telur dalam keranjang yang sama, maka ada kerja di NKB. Kebetulan saya dikirim ada 50 agenda yang disusun, dalam konteks REDD, untuk sinkronisasi, paling tidak uji kasus hak adat dalam area terkait REDD+.

Saya punya kenyakinan, kita mulai mendorong konteks mitigasi dalam hutan adat, namun harus dimulai dari pengakuan, sehingga punya contoh. Beberapa pengalaman, misalnya restorasi hutan desa, dibentuk setelah fakta lapangan terjadi. Ketika badan REDD datang, PP 7 berubah menjadi PP 3, ini rilnya. Yang kita diskusikan, bukan normative, tetapi ril politiknya. Misalnya apabila ada hutan adat, lalu diajukan pemetaan dan dibicarakan ke Pemda untuk dibawa ke tingkat nasional.

Dari catatan ini, ada kelompok yang pesimis, namun kalau saya tetap optimis, ada ruang yang bisa dimanfaatkan secara optimal, dimana ada kelompok masyarakat adat sebagai pengambil keputusan. Kita perlu kerjasa bersama.

Kita akan mulai dari hal kecil untuk melebarkan luaskan. Tidak ada jembatan yang siap  untuk menjalin kerjasama antar instansi. Saya menangkapnya hanya dengan pendekatan birokrasi. Seperti lempar bola, kalau tidak ada insitiaf di daerah, maka tidak ada perubahan di daerah.

“Maka lembaga REDD bisa memperlancar ini, sebagai model. Kalau Kalteng di sebut sebagai model pilot projek, maka taruh di atas meja bersama Pemda untuk mendiskusikan ini. Saya kira badan REDD potensial, kita akan gunakan dan perbincangkan dengan menerobos  bottle neck-nya dalam tataran kongkrit,”papar Andiko. ****LG.

Rilis Pers: Masyarakat Adat, Mitra Strategis Hadapi Perubahan Iklim

$
0
0

“Kebijakan pemerintah menempatkan masyarakat adat sebagai objek itu tidak benar,” tegas William Sabandar, Ketua Tim Khusus REDD+ di Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dalam acara Konsultasi Nasional REDD+ di Jakarta, Selasa (26/11). William berpendapat, masyarakat adat adalah mitra strategis UKP4 karena berada di garda terdepan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Konsultasi nasional bertema Kompleksitas Kebijakan Pemerintah tentang Kehutanan dan Penerapan Strategi Nasional REDD+ serta Implikasinya terhadap Masyarakat Adat ini diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Ini melanjutkan konsultasi pertama pada 5-8 Agustus 2009 di komunitas adat Kasepuhan Sinar Resmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

“Ada paradigma kalau pemerintah itu selalu benar. Kenyataannya tidak seperti itu. Banyak kasus di Indonesia yang menunjukkan kalau pemerintah-lah penyebab masalah pembangunan,” kata William.

REDD+ atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation merupakan inisiatif internasional untuk mengurangi emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Strategi nasional ternyata berbeda dengan konflik nyata di komunitas. Menurut William, tata perizinan yang amburadul menjadi tantangan untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan.

Sejalan dengan itu, Mina Susana Setra dari AMAN meminta agar ada perwakilan masyarakat adat dalam kelembagaan REDD+. “Perwakilan itu harus memiliki kemampuan pengambilan keputusan, bukan sekadar pengamat,” kata Deputi urusan Politik, Hukum, dan Advokasi AMAN tersebut.

Menurut Mina, bila hak-hak masyarakat adat tidak diakui dan dilindungi, maka masyarakat adat tidak akan mendukung REDD+. Ini adalah sikap konsisten AMAN di level internasional maupun lokal, dikenal dengan semboyan No Rights, No REDD+.

“No Rights, No REDD+ penting bagi kepastian hak-hak masyarakat adat, kepastian hak-hak tenurial dan pengelolaan wilayah, serta dukungan terhadap kearifan masyarakat adat sebagai alternatif solusi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Mina.

Andiko Sutan Mancayo, Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), menyoroti sinkronisasi Strategi Nasional REDD+ dan masyarakat adat. “Di level normatif sudah sangat maju, riil politiknya tidak,” kata Andiko, menekankan bahwa masyarakat adat perlu punya bagian dalam Stranas REDD+.

Mahkamah Konstitusi Indonesia, melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, telah menegakkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Untuk memulihkan hutan adat, kata Andiko, perlu untuk membangun dan mengkordinasi peta implementasi putusan MK tersebut. Selain itu, dibutuhkan kebijakan pemulihan wilayah adat bersama kementerian-kementerian yang berperan sebagai aktor Stranas REDD+.

Menurut Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, masyarakat adat rentan terhadap perubahan iklim. “Sekitar tigapuluh persen masyarakat adat di nusantara tinggal di daerah-daerah yang rentan terkena dampak-dampak perubahan lingkungan, terutama yang di daerah pesisir,” kata Abdon di acara yang sama.

Sesi Ketujuh Forum Permanen PBB tentang Isu-Isu Masyarakat Adat yang diselenggarakan pada 2008 merilis, masyarakat adat termasuk kelompok yang pertama kali akan menghadapi konsekuensi langsung perubahan iklim. Ketergantungan dan kedekatan mereka dengan lingkungan dan sumber dayanya membuat mereka rentan, padahal mereka bukanlah penyebab faktor-faktor perubahan iklim. “Kebijakan dan pengetahuan masyarakat adat merupakan salah satu solusi terbaik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Henky Satrio, Manajer Program REDD + di AMAN.

Konsultasi Nasional REDD+ ini adalah bagian pertama dari rangkaian konsultasi nasional yang diselenggarakan oleh AMAN selama dua hari. Pada Rabu (27/11), AMAN akan menyelenggarakan Konsultasi Nasional Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat.

 

Rilis Pers: Pemerintah Diminta Percepat Pembahasan RUU PPHMHA

$
0
0

Pemerintah diminta untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). “Sudah sangat lama masyarakat adat mendesak pemerintah agar ada undang-undang yang khusus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan di Jakarta, Rabu (27/11).

Pernyataan itu disampaikan dalam acara Konsultasi Nasional RUU PPHMHA yang dihadiri oleh Tenaga Ahli Panitia Khusus (Pansus) RUU PPHMHA Pramaartha Pode, belasan pengurus wilayah AMAN, dan berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia.

Pram sepakat agar pembahasan RUU PPHMHA dipercepat. “Januari hinggal April nanti, apakah akan ada anggota DPR di ruang rapat?” tanyanya, mengaitkan dengan persiapan menjelang Pemilihan Umum 2014.

Badan Legislasi DPR menerima RUU PPHMHA ke dalam Program Legislasi Nasional 2012. Pada 2013 Baleg menyelenggarakan konsultasi di provinsi Papua Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat.

April 2013, RUU PPHMHA resmi berstatus RUU Inisiatif DPR dan siap untuk dibahas bersama pemerintah. Pada bulan berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk empat kementerian, yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai wakil Pemerintah dalam melakukan pembahasan atas RUU PPHMHA bersama Pansus RUU PPHMHA di DPR-RI.

Pram mengungkapkan, Pansus RUU PPHMHA telah menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum dengan mengundang civitas akademika, seperti Universitas Indonesia (Depok, Jawa Barat) dan Universitas Hasanuddin (Makassar, Sulawesi Selatan) pada Oktober 2013.

Terkait dengan adanya agenda legislasi selain RUU PPHMHA yang berhubungan dengan masyarakat adat seperti RUU Desa dan RUU Pertanahan, Abdon menambahkan bahwa materi ketiga RUU ini tidak sinkron. RUU Pertanahan dan RUU Desa masih mengatur sebagian hak-hak masyarakat adat, yang seyogianya diatur di RUU PPHMHA.

Di kalangan masyarakat sipil, diskusi untuk sinkronisasi dan harmonisasi terhadap ketiga RUU itu dilakukan pada akhir Oktober 2013. Pelaksananya adalah AMAN, Fakultas Hukum UGM, dan Epistema Institute. “Diskusi itu merekomendasikan agar dilakukan segera harmonisasi terhadap ketiga RUU tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan yang berakibat buruk pada penegakan hukum ketika nanti ketiga RUU tersebut sah menjadi undang-undang,” kata Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi saat memoderasi sesi diskusi.

Erasmus mengakui, rekomendasi tersebut mungkin sulit untuk dilakukan oleh DPR berhubung laju percepatan pembahasan ketiga RUU tersebut berbeda. “Ruang untuk melakukan harmonisasi lebih mudah dilakukan untuk RUU Pertanahan dengan RUU Desa daripada dengan RUU PPHMHA,” tambahnya. Saat ini pembahasan RUU Desa telah memasuki tahap akhir, sedangkan pembahasan RUU Pertanahan lebih maju daripada RUU PPHMHA.

Di sisi lain, RUU PPHMHA dinilai belum melihat masalah-masalah masyarakat adat dari dimensi hak asasi manusia (HAM). “Pendekatan HAM penting karena harus ada penegasan bahwa penyelenggaraan hak-hak masyarakat adat tidak boleh melanggar hak-hak asasi orang lain,” jelas Abdon. Lebih lanjut Abdon mengatakan bahwa

AMAN juga keberatan dengan penggunaan istilah Masyarakat Hukum Adat dalam RUU. Terkait dengan hal tersebut Abdon menyatakan bahwa AMAN hingga hari ini masih memperjuangkan agar istilah yang dipakai adalah istilah Masyarakat Adat sebagaimana diperjuangkan AMAN sejak Kongres Pertama-nya pada 1999. Abdon menegaskan bahwa penggunaan istilah Masyarakat Adat dimaksudkan untuk mengakomodasi dua istilah sekaligus dalam UUD 1945, yaitu istilah Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18 B ayat (2) dan istilah Masyarakat Tradisional dalam Pasal 28 I ayat (3).

Hal lain yang disoroti Abdon adalah mengenai ciri-ciri Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur saat ini di dalam RUU PPHMHA. Ia menyatakan bahwa ciri-ciri dari keberadaan masyarakat adat tidak boleh diterjemahkan sebagai “syarat” untuk diakui sebagai masyarakat adat.

Selain itu, hal penting lainnya adalah keberadaan Panitia Masyarakat Hukum Adat yang diatur dalam RUU PPHMHA. Tidak ada yang menjamin bahwa panitia ini dapat bekerja tanpa hambatan. Juga tidak ada yang dapat memastikan bahwa panitia itu bekerja dengan konsep yang benar tentang masyarakat hukum adat. “Bagaimana bila pemerintah daerah ingin menghambat identifikasi dan pengakuan ini? Bagaimana agar panitia di lapangan tidak memakai ciri-ciri masyarakat adat sebagai syarat ada atau tidaknya masyarakat adat ketika panitia ini melakukan verifikasi masyarakat adat?” tanya Abdon.

Terkait pengakuan legal secara nasional, Filipina adalah satu-satunya negara Asia yang memiliki undang-undang khusus tentang masyarakat adat. Disahkan pada 1997, Indigenous Peoples Rights Act melindungi hak-hak masyarakat adat di Filipina, termasuk atas wilayah adatnya, sekaligus mendasari pembentukan komisi nasional masyarakat adat yang melapor langsung ke kantor presiden.

 

Indigenous youth leaders talk indigenous rights and climate change

$
0
0

Denpasar, Bali – 29 November 2013
Members of the Indigenous Youth Front of the Archipelago (Barisan Pemuda Adat Nusantara – BPAN), a wing organisation of AMAN, gathered in Bali today for a climate change and Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)seminar and workshop.

Twenty indigenous youth leaders travelled from Sumatera, Kalimantan, Sulawesi and other parts of Bali-Nusra to attend the seminar and workshop which included presentations from the Chairman of BPAN, MrSimon Pabaras and MsMina Susana Setra, AMAN Deputy Secretary General II for Politics, Law and Advocacy.

‘This workshop aims to give the indigenous youth leaders a deeper understanding of the issues affecting indigenous peoples,’Mr Pabaras said.

The first presentation, by Mr Pabaras,focused on the issues facing indigenous peoples across Indonesia including poverty, human rights violations and widespread environmental damage by state supported companies.

This was followed by a presentation from Ms Setra on climate change, theREDD+program and what implications these havehad and continue to have for indigenous peoples. REDD+ is an international program that offers incentives for developing countries to reduce emissions from forested lands and invest in low-carbon paths to sustainable development.

Indigenous youth were asked to offer their views and recommendations for how indigenous communities could deal with climate change and the REDD+ program. They were also asked to consider how they could mobilise their community to sign Petisi 35, the petitioncurrently beingcirculated by AMAN to push for the government to implement the Constitutional Court decision MK35/PUU-X/2012 and for the Peoples Representative Council (Dewan Perwakilan Rakyat) to adopt the Bill on the Recognition and Protection of Indigenous Rights.

The workshop comes before theBPAN RAKERNAS or national working meeting which will take place over two days from tomorrow. Outcomes from the discussion and workshop will be integrated into the RAKERNAS agenda.

Pemuda Adat Diskusikan Hak Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim

$
0
0

Denpasar, 29 November 2013 -  Para anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), salah satu organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berkumpul di Denpasar, Bali untuk menghadiri seminar dan lokakarya tentang perubahan iklim dan REDD+.

Dua puluh pemimpin pemuda adat dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara hadir di seminar dan lokakarya yang menampilkan presentasi dari Ketua BPAN Simon Pabaras dan Deputi II Sekjen AMAN Mina Susana Setra.

“Lokakarya ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada para pemimpin pemuda adat mengenai isu-isu yang mempengaruhi masyarakat adat,” kata Simon. Presentasi pertama, disampaikan oleh Simon, fokus pada masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat di Indonesia, termasuk kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan perusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan yang didukung oleh negara.

Presentasi selanjutnya, oleh Mina, membahas perubahan iklim, program REDD+, dan implikasinya terhadap masyarakat adat. REDD+ merupakan sebuah program internasional yang memberikan insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari hutan dan berinvestasi pada pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon.

Para pemuda adat diminta untuk menyampaikan pandangan dan rekomendasi mereka mengenai bagaimana mengatasi perubahan iklim dan berurusan dengan program REDD+. Mereka juga diminta untuk mempertimbangkan cara-cara memobilisasi komunitas mereka masing-masing untuk menandatangani Petisi 35 yang sedang disirkulasikan oleh AMAN untuk mendesak pemerintah agar mengimplementasikan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan parlemen agar mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Lokarya ini berlangsung dua hari sebelum Rapat Kerja Nasional BPAN. Hasil diskusi dan lokakarya ini akan diintegrasikan ke dalam agenda Rakernas BPAN tersebut.

Viewing all 1659 articles
Browse latest View live