Quantcast
Channel: AMAN
Viewing all 1659 articles
Browse latest View live

Isu Hutan Adat Bisa Picu Konflik Sosial

$
0
0

Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya berjanji akan secepatnya berkoordinasi dengan koleganya di kabinet untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait pengakuan hutan adat. “Masalah di lapangan sudah serius,” kata Balthasar ketika menerima pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Senin (15/7) di Jakarta.

Beberapa waktu lalu,  MK  mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam putusannya, hutan adat yang sebelumnya menjadi bagian dari hutan negara, harus dimaknai sebagai hutan hak.  Jadi, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Putusan itu menimbulkan eforia karena selama 14 tahun wilayah adat  diserobot atau dijadikan hutan produksi. Alhasil, di sejumlah daerah kini masyarakat menancapkan plang putusan MK itu di lahan perkebunan. Misalnya, masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Mereka memasang plang bertuliskan Pengumuman Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta Bukan Lagi Hutan Negara Sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi. Tujuh plang itu ditancapkan di lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari. Jika tidak ditangani secepatnya, saling klaim itu menjadi bibit konflik horisontal.

Balthasar berharap secepatnya dilakukan pembicaraan soal tapal batas wilayah masyarakat hukum adat.  Dia akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Kehutanan. Dia mengakui sangat peduli dengan isu ini karena dirinya adalah anak kepala adat di salah satu suku di Papua.

Anggota Komnas HAM, Sandra Moniaga mengusulkan sejumlah instansi bertemu dan membuat pedoman bersama.  Jangan masing-masing membuat program serupa, misalnya inventarisasi masyarakat adat. “Bentuk satuan tugas untuk mempercepat penyelesaian kasus ini,” katanya.

Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan memaklumi aksi tancap patok yang dilakukan masyarakat adat. “Saya minta mereka untuk tidak merusak   patok atau plang nama perusahaan perkebunan  yang telah mendapat izin dari pemerintah,” katanya. Dia juga mewanti-wanti para sahabatnya di daerah untuk tidak melakukan kekerasan.

Abdon mengakui pihaknya sudah mensosialisasikan putusan MK itu kepada sejumlah perusahaan. Ada yang menerima, namun ada pula yang menolak. Bagi perusahaan yang taat aturan,  kata dia, putusan MK itu  mendorong kebijakan yang pasti.

Mereka rela lahan konsesinya berkurang dan diserahkan ke masyarakat adat asal tidak ada lagi klaim dan konflik.  Selama ini  mereka membayar uang untuk jasa keamanan ke polisi atau oknum TNI. Belum lagi memberi dana kepada oknum pejabat di daerah.  Ekonomi biaya tinggi ini, kata Abdon,  tidak disenangi pengusaha yang taat dan jujur.

Sebaliknya dengan pengusaha nakal yang cuma memburu rente. Mereka hidup dari ketidakjelasan aturan di sektor kehutanan. Menurut Abdon, sekitar 80 persen status lahan di Indonesia tidak jelas kepemilikan atau izinnya banyak yang tumpang-tindih.

Abdon meminta pemerintah secepatnya mengeluarkan instruksi Presiden untuk menindaklanjuti putusan MK. “Harus ambil kepemimpinan secepatnya agar konflik tidak terjadi di daerah.”  Aturan itu juga penting, ujarnya, agar tidak ada orang yang mengaku-ngaku masyarakat adat dan mengklaim suatu lahan.

UNTUNG WIDYANTO

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/07/15/061496684


Penyerahan Peta Wilayah Adat oleh AMAN dan BRWA kepada Kementerian Lingkungan Hidup

$
0
0

Penyerahan Peta Wilayah Adat

Jakarta, 15 Juli 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)  secara resmi menyerahkan peta wilayah adat yang sudah masuk daftar BRWA kepada Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Peta wilayah adat yang diserahkan berjumlah 324 peta wilayah adat dengan total luasan 2.643.261,09 Ha. Ini merupakan penyerahan peta tahap awal AMAN kepada BRWA menindaklanjuti kerjasama yang sudah disepakati AMAN-KLH pada tahun 2010 untuk meningkatkan peran masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Peta wilayah adat yang tersedia di BRWA yang dalam prosesnya telah difasilitasi baik secara langsung oleh JKPP, AMAN ataupun LSM pendukung masyarakat adat di Nusantara merupakan informasi penting untuk memperluas kerjasama dengan KLH dalam mendorong pemerintah daerah supaya melakukan inventarisasi dan regulasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat secara turun-temurun sesuai amanat UU PPLH No. 32/2009 pasal 63 serta mendukung One Map Indonesia yang sedang dijalankan oleh pemerintah melalui UKP4 dan BIG.

Menurut Sekjen AMAN Abdon Nababan, Selama ini kerjasama antara AMAN dan KLH dalam menginventarisasi serta memetakan wilayah adat berikut pranata kearifan tradisional yang ada di-dalamanya, merupakan langkah maju.

“Bukan hanya dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) saja, tetapi  juga strategi untuk mempercepat pelaksanaan Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011 dan No. 35/PUU-X/2012 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah menegaskan bahwa kawasan hutan yang masih dalam status penunjukan, belum memiliki kekuatan hukum tetap dan hutan adat merupakan bagian dari wilayah adat (ulayat) yang statusnya bukan hutan Negara” papar Nababan.

Lebih lanjut, Sekjen AMAN mengharapkan agar KLH mengembangkan satu sistem pengelolaan informasi lingkungan hidup terpadu, bersifat lintas sektoral dan multi pihak, yang di dalamnya tersedia peta wilayah adat dan informasi dasar tentang kearifan tradisional pengelolaan lingkungan hidup  seluruh masyarakat adat di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) siap bekerjasama lebih erat lagi dengan Pemerintah melalui KLH untuk memastikan keberadaan masyarakat adat yang diakui, dihormati dan dilindungi secara efektif sebagaimana diamanatkan UU PPLH.

Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA dalam sambutannya menyampaikan bahwa AMAN telah melangkah lebih maju dengan menghasilkan  peta wilayah adat ini.  Menteri juga  mengucapkan terima kasih kepada AMAN dan BRWA yang telah melaksanakan identifikasi keberadaan MHA-verifikasi dan pemetaan wilayah adat di Indonesia.

“ Wilayah adat mestinya  dalam kondisi lestari, karena kearifan lokal dan  seluruh perangkat kepengurusan adat mengawalnya. Bagi Pak Menteri pekerjaan ini sangat serius, dan berkomitmen menindaklanjuti hasil pemetaan wilayah adat yang diserahkan oleh AMAN ke tingkat pembicaraan yang lebih tinggi, seperti melakukan kordinasi dengan kementerian terkait lainnya. Komitmen lain yang disampaikan oleh  menteri, agar proses indentifikasi dan verifikasi ini terus berlangsung dengan menggunakan kriteria dan metode yang  tepat. Masyarakat adat memiliki  pengetahuan tradisional yang perlu diidentifikasi dan diverifikasi, sejalan dengan UU NO 11  Tahun 2013 tentang  Pengesahan  Nagoya Protocol  yang telah  disahkan.  Database keberadaan MHA dan pengetahuan tradisional ini penting sebagai data dasar untuk menjalankan berbagai kebijakan. Seperti penetapan eko region, pemanfaatan  pengetahuan tradisional, perlindungan hak kekayaan intelektual ” lanjut pak Meteri.

KLH dengan AMAN telah mempunyai MoU, dengan demikian berarti KLH berkomitmen untuk berjuang bersama AMAN guna melakukan percepatan pengakuan terhadap masyarakat adat Indonesia, dengan angka pemetaan wilayah adat yang dimiliki BRWA. Mari kita dorong pemerintah daerah agar dapat melakukan percepatan pengakuan masyarakat adat di daerah mereka masing-masing, ujar Kepala BRWA, Kasmita Widodo. ***(Arifin Saleh).

Rapat Adat Pandumaan-Sipituhuta Terkait Pemetaan Ulang Hutan Kecamatan Pollung

$
0
0

 

Ruma Adat Batak

Pollung, Doloksanggul. Camat Pollung, Sumitro Banjar Nahor meminta seluruh desa wilayah barat Kec Pollung yaitu, Aek Nauli, Pancur Batu, Huta Paung, Huta Julu, termasuk Pandumaan-Sipituhuta, untuk memetakan ulang hutan kemenyan mereka serta menyebutkan nama pewaris yang berada di garis batas hutan adat tersebut. Meskipun pemetaan sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Pansus DPRD Humbahas pada bulan Desember tahun 2011.

Untuk menyikapi permintaan camat tersebut komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta mengadakan rapat pada tanggal 8 Juli 2013 yang berlangsung dari jam 20:00 s/d 23:00 di sekertariat perjuangan adat Pandumaan-Sipituhuta.

Dalam rapat tersebut warga mengemukakan pendapat dan pikirannya masing-masing, ada yang setuju dan ada menolak tegas.
Sementara itu Kepala Desa Pandumaan, Budiman Lumban Batu sudah sempat berjanji pada Camat Pollung untuk menyerahkan nama-nama di garis tapal batas tersebut, camat berjanji tidak akan mempersulit mereka. Namun Ketua Dewan Daerah AMAN Tano Batak James Sinambela bersama warga lain keberatan pada permintaan camat tersebut.  Adapun alasan keberatan pencantuman nama-nama, menurut Sinambela bahwa wilyah adat adalah sebuah kesatuan, bukan hak milik perseorangan yang bisa diperjual belikan. Dan hal tersebut jika dipenuhi bisa memicu konflik harisontal antar warga petani kemenyan yang berbatasan.

Kemudian untuk menanggapi permintaan Dirjen Bina Usaha Kehutanan saat berkunjung ke Pandumaan-Sipituhuta pada 29 Mei 2013 lalu yang meminta masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta untuk bermitra dengan TPL. Dalam rapat ini diputuskan bahwa kemitraan tersebut tidak mungkin terlaksana, karena pohon kemenyan tidak dapat hidup berdampingan dengan eucaliptus (pohon untuk bahan bubur kertas TPL).*** Lambok LG

Selamat Jalan Srikandi Pejuang Adat Karunsi’e Dongi

$
0
0

Pejuang Perempuan Adat

Perjuangan Ibu Werima selama Hidupnya

Werima Mananta, tumbuh dan besar di lokasi pengungsian Provinsi Sulawesi Tengah, saat pergolakan DI/TII Kahar Mudzakkar pada tahun 60-an. Setelah sekian lama mengungsi, ibu Werima kembali ke kampong halamannya pada tahun 2002 dengan niat membangun kampong, tetapi yang ditemuinya   kampungnya (Dongi) sudah menjadi area Tambang Nikel oleh PT Inco ( pada saat itu) dan sekarang menjadi PT. VALE kampong tempat kelahiran ibu Werima sebahagian berubah menjadi lapangan golf dan kantor perusahaan, sebahagian lagi jadi area tambang. Bahkan situs-situs kuburan tua leluhur orang Dongi sebahagian hilang karna aktifitas tambang. Dari situlah ibu Werima memulai perjuangannya bersama saudaranya dan beberapa orang Dongi untuk merebut kembali Tanah leluhur mereka tersebut.

Pada tahun 2003 ibu Werima terpilih sebagai Ketua Organisasi Adat Kampong Dongi menggantikan kakak kandungnya yaitu Naomi Mananta. Periode awal ibu Werima mulai melakukan aksi demonstrasi menentang tambang, melawan kebijakan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur menentang relokasi masyarakat Dongi, tahun 2005. Ibu Werima menggalang kekuatan dan dukungan hingga ke tingkat Internasional melalui AMAN, Jatam dan Walhi. Sebuah pengakuan atas kepemimpinan ibu Werima memimpin Kampong Dongi. Pihak perusahaan merasa terancam dengan keberadaannya, sampai perusahaan melakukan intimidasi, teror dan bujuk rayu dengan iming-iming materi pada ibu Werima supaya tidak menentang perusahaan lagi.

Pada tahun 2010 ibu Werima bersama masyarakat adat Dongi melakukan pemetaan wilayah adat Kampong Dongi  dan melanjutkannya pada tahun 2012 dengan hasil sebuah masterplan-tata ruang dan tata produksi Kampong Dongi. Tahun 2012 sampai awal 2013 pihak perusahaan kembali mengajak ibu Werima melakukan negoisasi penyelesaian konflik masyarakat adat Kampong Dongi. Meski negosiasi dilaksanakan sebanyak tiga kali, tetapi tidak pernah mencapai kesepakatan.

Dalam perjuangannya Ibu Werima sering sakit parah, tetapi berkat ketegaran dan kegigihannya  dalam berjuang,  dia tidak menghiraukan lagi sakit yang dideritanya hingga dokter memvonis ibu Werima terserang gagal ginjal.

Dalam  berjuang, Ibu Werima mempunyai perinsip, “lebih baik kami mati di tanah leluhur kami dari pada kami meninggalkan tanah leluhur”.

Semoga keikhlasannya dalam berjuang akan mengantarkan ibu Werima ke surga bertemu dengan leluhur dan sang pencipta, Amin.

Bio Data Almarhumah Werima Mananta

Nama:  Werima Mananta
T.Tgl Lahir:Dongi 25 Juli 1946
Nama Orang Tua:
Bapak: Moi Mananta
Ibu: Meyoko

Anak kedelapan dari Sembilan bersaudara
Suami:  Arie Massie
Anak :
1.    Mildred Massie
2.    Imelda Massie
3.    Amanzan Massie

Cucu:  Enam Orang
1.    Alfa Bangga
2.    Lika Bangga
3.    Farensila
4.    Tessa
5.    Felicia Massie
6.    Fenalla Massie
7.    Agama:  Advent

Jabatan dalam Organisasi:
1. Guru Sekolah Sabat di Gereja Advent Pali

Jabatan Adat:
1. Wakil Kepala Suku Dongi, Tahun 2009 s/d  tgl 19/07/2013 pagi menghembuskan nafas
2. Ketua Organisasi masyarakat adat Dongi,Tahun 2003 sampai sekarang.

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Maluku Utara Tahun 2013

$
0
0

Sidang Perselisihan Pilkada Malut di Mahkamah Konstitusi

Jakarta 22-Juli-2013. Perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Maluku Utara 2013 akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi.  Gugatan pasangan Hein Namotemo-Abdul Malik Ibrahim No Urut 6 dari jalur independen diterima dengan nomor perkara 100/ PHPU.D-XI/2013.  Gelar perkara pertama dilangsungkan pada tanggal 22 Juli jam 13:30 penyampaikan gugatan tertulis kepada Hakim Mahkamah Konstitusi.

Gugatan pasangan Hein Namotemo-Abdul Malik Ibrahim (Nomor 6) keberatan atas rekapitulasi yang disampaikan oleh Termohon  atau KPU   Maluku Utara yang diplenokan pada tanggal  12 juli 2013 di Sovivi, Maluku Utara. Hal lain yang disampaikan oleh kuasa hukum pasangan nomor 6 yaitu  terjadi penetapan  DPT secara menyimpang yang dilakukan oleh Termohon beserta jajarannya, yaitu KPU Halut di enam kecamatan di Tobelo. Dimana Penetapan DPT ditetapkan berdasarkan  Abjad  atau Alfabet, dan para pemilih di sebar di seluruh desa di enam kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara. Sistem Abjad atau Alfabet  ini menyebabkan warga yang memiliki hak pilih kebingungan dan  terhalangi haknya untuk memilih  sehingga mengakibatkan kehilangan hak suaranya sebagai warga  negara khususnya sebagai warga dalam pilkada Maluku Utara.  Setelah melakukan kalkulasi perhitungan ulang versi Pemohon , maka Pemohon kehilangan sekitar 10.000 lebih suara di enam kecamatan di Tobelo.

Hal lain yang disampaikan oleh pemohon perkara 100/PHPU.D-XI/2013  adalah terindikasi bahwa salah satu calon Gubernur  Maluku  Utara adalah telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Oleh karena itu mohon menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi supaya yang bersangkutan didiskualifikasi dan tidak di ikutkan dalam pemilihan ulang.

Selain Pasangan Hein Namotemo, pasangan lainya yang melakukan gugatan adalah Nomor Perkara : 97/PHPU.D-XI/2013 , Pemohon : H. Muhadjir Albaar,M.S dan Sahrin Hamid  [No. Urut 2], Kuasa Pemohon : Iwan Gunawan, S.H., M.H., dkk.  Dan Nomor  Perkara 99/PHPU.D-XI/2013 , Pemohon Syamsir Andili dan Benny Laos [No. Urut 4] Kuasa Pemohon : Munir Amal Tomagola, S.H., dkk. Para pemohon ini menyampaikan bahwa telah terjadi  pelanggaran berupa money politics  dan keterlibatan PNS yang begitu massif dan terstruktur di berbagai tempat.

Pemohon perkara nomor 97, 99 dan 100 menyampaikan kepada Hakim Mahkamah Konstitusi  mengabulkan  permohonan agar  dilakukan pemungutan suara ulang dan  pasangan nomor urut 3 didiskualifikasi. (sumber : Risalah Sidang 5077_Mahkamah Konstitusi) Selesai Persidangan Hein Namotemo yang juga adalah Ketua Dewan AMAN Nasional mengharapkan agar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi  berlaku adil. “Adil itu artinya jika ada money politik dan penggelembungan suara ini harus di tertibkan”, Kemudian jika dinyatakan bersalah atas berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon Gubernur Maluku Utara ya didiskwalisifikasi saja pasangan tersebut. Beliau juga tegas menyampaikan  “pasti terbukti” dan Mahkamah Konstitusi akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya untuk rakyat yang terhalangi dan ternodai hak pilihnya. Agenda persidangan selanjutnya tanggal 23 Juli 20131 akan mendengar keterangan saksi-saksi. (Tim AMAN)

Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei Petakan Wilayah Adat

$
0
0

Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei Petakan Wilayah Adat

Tempun petak menana sare
Tempun kajang bisa puat
Tempun uyah batawah belai

(punya tanah tapi di pinggir
punya atap tapi kebasahan
punya garam tapi tawar rasa)

Pesan di atas berkali-kali diucapkan oleh warga komunitas Dayak Ngaju, Tumbang Bahanei, saat sosialisasi pemetaan partisipatif. Mereka menyadari meningkatnya arus investasi perkebunan besar sawit, tambang dan HPH di Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Gunung Mas dan hal itu merupakan ancaman pengabaian atas hak-hak bawaan mereka.

“Dimana-mana ada perusahaan sawit berdiri, lalu bagaimana kami menjaga tanah air demi masa depan anak cucu. Dengan jelasnya batas-batas wilayah adat, maka jika investor mau masuk harus mengetuk pintu dulu” ujar Suley, seorang warga komunitas Dayak Ngaju.

Oleh karena itu pada tanggal 10/ 7/ 2013 lalu di gedung SDN Tumbang Bahanei, diadakan pertemuan kampung untuk membahas pemetaan wilayah adat dan mengambil keputusan penting. Dalam pertemuan yang dihadiri 80% warga komunitas itu, sepakat untuk melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat mereka.

Sadar bahwa mereka adalah komunitas anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang harus mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik, maka mulai dari pembentukan struktur pelaksana, penyusunan rencana kerja dan anggaran, pertemuan dengan kampung yang berbatasan, hingga pengambikan titik koordinat, semua dilakukan komunitas secara partisipatif.

Pemetaan ini didukung pemerintah Desa Tumbang Bahanei. Pemerintah desa turut terlibat  memfasilitasi pertemuan kampung terkait. “Doa kami mudah-mudahan pekerjaan ini berhasil dengan baik, kalau kami ini dari pekarangan rumah sampai ke kebun habis, dimana lagi kami bisa hidup?” ujar Sudar, Kepala Desa Tumbang Bahanei.

Setelah komunitas sepakat melaksanakan pemetaan wilayah adat, tim lapangan segera bergegas mendatangi kampung yang berbatasan. Membawa sketsa wilayah adat mereka dan membicarakan tentang tata batas antara kampung, sebab pengakuan batas wilayah dari kampung tetangga adalah salah satu syarat pengesahan peta wilayah adat mereka nantinya.

Pada saat pengambilan titik kordinat batas wilayah adat, ada beberapa peristiwa yang dapat dicatat. Ketika beras yang kami bawa habis di perbatasan komunitas Tumbang Tuwe, kami kemudian diberi beras oleh warga  komunitas Tumbang Tuwe itu” ujar Suley. Beras diberikan karena rasa kekeluargaan antar kampung.

Lalu saat pengambilan ulang titik serta memastikan bahwa titik yang diambil  adalah batas wilayah yang benar, dilakukan berkali-kali. Mengingat medan yang sulit ditempuh dan kebanyakan hutan rimba,  pengambilan titik koordinat diselesaikan dalam 12 hari.

Keterlibatan pemuda adat sangat membantu proses pemetaan wilayah adat ini. Mulai dari mengoperasikan GPS hingga menggambar peta secara manual. “Saya ikut karena saya ingin tau lebih banyak tentang hukum adat, asal-usul kampung dan apa saja yang dilindungi di wilayah adat,” ujar Hendro, salah satu pemuda adat di sana. Dia juga menjelaskan bahwa pemetaan wilayah adat ini tidak untuk kepentingan pribadi tetapi untuk komunitas, agar muncul rasa saling memiliki dan saling bantu demi menjaga keberlangsungan ekosistemnya.

Kini bentang wilayah adat Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei sudah terihat di peta manual. Sementara masih ada beberapa proses yang harus dijalankan, seperti lokakarya tentang tata batas wilayah dan rencana tata ruang wilayah adat juga harus diselesaikan. Hingga akhirnya peta wilayah adat disahkan oleh seluruh masyarakat komunitas yang bersangkutan, pemerintah setempat dan kampung yang berbatasan.***(Pebri)

Penyerahan Peta Wilayah Adat oleh AMAN dan BRWA kepada Kementerian Lingkungan Hidup

$
0
0

Penyerahan Peta Wilayah Adat

Jakarta, 15 Juli 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)  secara resmi menyerahkan peta wilayah adat yang sudah masuk daftar BRWA kepada Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Peta wilayah adat yang diserahkan berjumlah 324 peta wilayah adat dengan total luasan 2.643.261,09 Ha. Ini merupakan penyerahan peta tahap awal AMAN kepada BRWA menindaklanjuti kerjasama yang sudah disepakati AMAN-KLH pada tahun 2010 untuk meningkatkan peran masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Peta wilayah adat yang tersedia di BRWA yang dalam prosesnya telah difasilitasi baik secara langsung oleh JKPP, AMAN ataupun LSM pendukung masyarakat adat di Nusantara merupakan informasi penting untuk memperluas kerjasama dengan KLH dalam mendorong pemerintah daerah supaya melakukan inventarisasi dan regulasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat secara turun-temurun sesuai amanat UU PPLH No. 32/2009 pasal 63 serta mendukung One Map Indonesia yang sedang dijalankan oleh pemerintah melalui UKP4 dan BIG.

Menurut Sekjen AMAN Abdon Nababan, Selama ini kerjasama antara AMAN dan KLH dalam menginventarisasi serta memetakan wilayah adat berikut pranata kearifan tradisional yang ada di-dalamanya, merupakan langkah maju.

“Bukan hanya dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) saja, tetapi  juga strategi untuk mempercepat pelaksanaan Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011 dan No. 35/PUU-X/2012 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah menegaskan bahwa kawasan hutan yang masih dalam status penunjukan, belum memiliki kekuatan hukum tetap dan hutan adat merupakan bagian dari wilayah adat (ulayat) yang statusnya bukan hutan Negara” papar Nababan.

Lebih lanjut, Sekjen AMAN mengharapkan agar KLH mengembangkan satu sistem pengelolaan informasi lingkungan hidup terpadu, bersifat lintas sektoral dan multi pihak, yang di dalamnya tersedia peta wilayah adat dan informasi dasar tentang kearifan tradisional pengelolaan lingkungan hidup  seluruh masyarakat adat di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) siap bekerjasama lebih erat lagi dengan Pemerintah melalui KLH untuk memastikan keberadaan masyarakat adat yang diakui, dihormati dan dilindungi secara efektif sebagaimana diamanatkan UU PPLH.

Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA dalam sambutannya menyampaikan bahwa AMAN telah melangkah lebih maju dengan menghasilkan  peta wilayah adat ini.  Menteri juga  mengucapkan terima kasih kepada AMAN dan BRWA yang telah melaksanakan identifikasi keberadaan MHA-verifikasi dan pemetaan wilayah adat di Indonesia.

“ Wilayah adat mestinya  dalam kondisi lestari, karena kearifan lokal dan  seluruh perangkat kepengurusan adat mengawalnya. Bagi Pak Menteri pekerjaan ini sangat serius, dan berkomitmen menindaklanjuti hasil pemetaan wilayah adat yang diserahkan oleh AMAN ke tingkat pembicaraan yang lebih tinggi, seperti melakukan kordinasi dengan kementerian terkait lainnya. Komitmen lain yang disampaikan oleh  menteri, agar proses indentifikasi dan verifikasi ini terus berlangsung dengan menggunakan kriteria dan metode yang  tepat. Masyarakat adat memiliki  pengetahuan tradisional yang perlu diidentifikasi dan diverifikasi, sejalan dengan UU NO 11  Tahun 2013 tentang  Pengesahan  Nagoya Protocol  yang telah  disahkan.  Database keberadaan MHA dan pengetahuan tradisional ini penting sebagai data dasar untuk menjalankan berbagai kebijakan. Seperti penetapan eko region, pemanfaatan  pengetahuan tradisional, perlindungan hak kekayaan intelektual ” lanjut pak Meteri.

KLH dengan AMAN telah mempunyai MoU, dengan demikian berarti KLH berkomitmen untuk berjuang bersama AMAN guna melakukan percepatan pengakuan terhadap masyarakat adat Indonesia, dengan angka pemetaan wilayah adat yang dimiliki BRWA. Mari kita dorong pemerintah daerah agar dapat melakukan percepatan pengakuan masyarakat adat di daerah mereka masing-masing, ujar Kepala BRWA, Kasmita Widodo. ***(Arifin Saleh).

Musyawarah Adat Masyarakat Adat To Karunsi’e Kampung Dongi

$
0
0

Musyawarah

Palopo 24/08/2013. Telah dilaksanakan Musyawarah Adat Masyarakat Adat To Karunsi’e Kampung Dongi  di “Raha Terisoa” (Balai Pertemuan) Masyarakat Adat To Karunsi’e Kampung Dongi.
Musyawarah yang dimulai sejak  pukul. 08.30 Wita tersebut juga  dihadiri oleh perwakilan AMAN Tana Luwu dan Koordinator Perempuan AMAN Tana Luwu Musyawarah Adat yang dipimpin langsung  oleh Mahola Karunsi’e (Ketua Masyarakat Adat Karunsi’e) yang bergelar “Bali Pombu” itu memilih Ibu ‘Irene Mananta’ sebagai Kepala Kampung Dongi yang baru menggantikan Almarhumah Werima Mananta. Musyawarah Adat tersebut juga memberi gelar “Sombu Karu” kepada Kepala Kampung Dongi yang baru.

Infokom PW AMAN Tana Luwu.  


Mereka di kepung Tambang dan Taman Nasional AKETAJAWE LOLOBATA

$
0
0

Dialog Interaktif AMAN Malut-RRI Ternate

Ternate, 22 Agustus 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara  menyelengarakan dialog interaktif  di Radio Republik Indonesia (RRI) Ternate.

Narasumber dalam dialog ini hadir Mia Siscawati (Sajogyo Institute dan Pengajar Pasca Sarjana Antropologi Universitas Indonesia) Ari Subiantoro (Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Ubaidi Abdul Halim (Kabiro OKK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara), Faris Bobero (Penggiat Masyarakat Adat Tobelo Dalam) Tema dialog kali ini;“Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam”.

Ubaidi Abdul Halim, menyesalkan ketika  pemerintah pusat menetapkan Hutan Konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara berdasarkan SK.397/Menhut-II/2004 dengan Blok Aketajawe seluas 77.100 Ha dan Blok Lolobata seluas 90.200 Ha, sesungguhnya Masyarakat Adat Tobelo Dalam perlahan-lahan kehilangan hak untuk mengakses sumberdaya alam bahkan mereka sering dikriminalisasi karena dianggap melawan hukum. Jika terus berlanjut dipastikan Masyarakat Adat Tobelo Dalam akan terusir dari tanahnya sendiri. Mereka dikepung Tambang, HTI, HPH dan Sawit beliau juga menambakan pengakuan hak atas tanah, hutan dan SDA harus diputuskan lewat PERDA Masyarakat adat.

Sementara itu Mia Siscawati menjelaskan, penderitaan Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini sangat panjang. Mulai dari masuknya agama baru, perseteruan wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore, pemerintah orde baru yang memberikan label manusia terasing. Tapi situasi saat ini berbeda, Masyarakat Adat Tobelo Dalam itu, hak-haknya diakui oleh UUD 1945, hak ruang hidup teritori yang luas untuk berburu dan mencari makan tidak boleh ada batasan,  ada juga hak lain misalnya hak memperoleh pendidikan dan kesehatan.

Masyarakat Adat Tobelo Dalam sedang ‘galau’ karena di kepung tekanan dan situasi,” tambah Mia
Faris Bobero menambahkan bahwa pengaruh pihak luar seperti Taman Nasional dan perusahan merubah budaya dan identitas mereka. Misalnya konsep berburu kini jarang mengunakan tombak tapi dengan senjata bets. “Di Taman Nasional Aketajawi Lolobata Suku Tobelo Dalam tidak memahami implikasi deforestasi dari kegiatan pertambangan, namun mereka memahami apabila tutupan hutan dibuka, maka mereka akan mendapat masalah, sebab kwalitas air yang baik untuk mendukung kehidupan mereka terutama kebutuhan domestik sehari-hari juga untuk persalinan tercemar,” kata Faris.

Namun Kepala Taman Nasional Aketajawe Lolobata, menjelaskan bahwa  mereka mengakui Masyarakat Adat Tobelo Dalam lewat  SK Derektoral Jenderal Kehutanan sebagai zona tradisional yang dikelola dan dimanfaatkan oleh  mereka, jadi tidak perlu khawatir. Mereka seperti tubuh kami sendiri jika mereka sakit kami juga merasa sakit. Sejauh yang kami ketahui  Masyarakat Adat Tobelo Dalam tidak memprotes keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Kalau hutan produksi dan hutan lindung mereka pasti terusir, justru Taman Nasional adalah benteng terakhir konservasi hutan Indonesia,” ungkapnya.***Ubaidi Abdul Halim

Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Komunitas di Wilayah Masyarakat Adat

$
0
0

Konferensi Internasional Pemetaan Partisipatif

“Tumpang Tindih Kawasan Hutan”

Tuktuk, 25 Agustus 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjadi tuan rumah pelaksanaan Konferensi Global mengenai Pemetaan Partisipatif Komunitas di Wilayah Masyarakat Adat. Konferensi ini diadakan pada 25-28 Agustus 2013 di Tuktuk, Pulau Samosir, Sumatra Utara.

Konferensi diadakan atas kerja sama AMAN dan Tebtebba, sebuah pusat kajian internasional Masyarakat Adat. Kegiatan ini merupakan kelanjutan Lokakarya Pemetaan 3D Partisipatif yang diselenggarakan oleh Tebtebba pada Agustus 2012 dan dihadiri oleh partner-partner yang terlibat dalam Kemitraan Global Masyarakat Adat untuk Perubahan Iklim dan Hutan.

Konferensi dibuka oleh Sekretaris-Jenderal AMAN Abdon Nababan. “Tema pemetaan partisipatif sedang sangat relevan dengan Masyarakat Adat di Indonesia. Ada kebutuhan Masyarakat Adat di Indonesia untuk segera memetakan wilayah adatnya. Gerakan pemetaan partisipatif ini harus kita perluas. Kita ajak semakin banyak orang dan lembaga,” kata Abdon.

Mahir Takaka, Deputi III PB AMAN untuk Pemberdayaan dan Pelayanan Masyarakat Adat, berbagi pengalaman mengenai penggunaan peta untuk menegaskan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah, wilayah, hutan, dan sumber daya mereka.

Menurut Mahir, pemetaan partisipatif dalam konteks Gerakan Masyarakat Adat Nusantara dilakukan atas dasar kebutuhan masyarakat adat, sebagai alat pendukung untuk tata ruang wilayah adat, dan pengakuan terhadap wilayah adat oleh negara Indonesia atau pihak lain.

“Masyarakat Adat di Nusantara harus memetakan dan meregistrasi wilayah adatnya karena belum ada skema kebijakan dari Pemerintah Indonesia dalam menyediakan data dan informasi tentang masyarakat adat yang utuh untuk menjalankan amanat konstitusi,” ungkap Mahir dalam presentasinya.

Bagi Masyarakat Adat Nusantara, peta wilayah adat bermanfaat sebagai alat perencanaan pembangunan di wilayah adat, menjadi alat utama pengembangan dan penataan tata ruang wilayah adat, pemberdayaan masyarakat adat (terutama terkait aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan hidup), sekaligus untuk mengetahui titik rawan bencana alam.

Pada Maret 2010, AMAN bersama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Forest Watch Indonesia (FWI) mendirikan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Pada 15 Juli 2013, AMAN menyerahkan 324 peta wilayah adat, mencakup 2.634.261,09 hektare, kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Total wilayah adat yang telah dipetakan adalah 6,69 juta hektare.

Dari gerakan pemetaan Masyarakat Adat di Nusantara selama ini, diketahui ada 2,6 juta hektare wilayah adat (sekitar 76,5 persen) yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Sedangkan yang tumpang tindih dengan PIPIB (Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru) kawasan hutan  adalah 1,68 juta hektare (sekitar 49 persen).*** (Mona Sihombing)

Rakyat Penunggu Sambut Delegasi Peserta Konferensi Global Pemetaan Wilayah Adat

$
0
0

Rakyat Penunggu Sambut Konferensi Internasional Pemetaan Wilayah Adat

Deli Serdang 25-Agustus-2013. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu (BPRPI) menyambut para peserta Nasional dan Internasional konfrensi global pemetaan wilayah adat. Dari Nasional Hadir para Utusan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dari Pengurus Besar, Pengurus Wilayah seperti dari Sumatera Utara,  Tano Batak,  Bengkulu, Jawa Bagian Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Tana Luwu, Kalimantan Barat, Papua dan Maluku.

Konferensi juga dihadiri utusan pemerintah seperti UKP4, Badan Informasi Geospasial. Dari NGO hadir Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Qbar, Samdhana, Kemitraan, PPSDAK, ID dan diliput oleh media dalam dan luar negeri.

Selain utusan pemerintah hadir utusan dari World Bank, MCC dan beberapa lembaga UN yang memiliki komitmen dan mandat untuk pengakuan, perlindungan. dan pemenuhan atas hak-hak Masyarakat adat.

Para peserta tiba tanggal 24 Agustus 2013, lewat Bandara Kuala Namu yang baru satu bulan selesai dibangun di atas wilayah adat Rakyat Penunggu Kampung Paluh Sibaji tersebut tanpa melalui proses negosiasi (perundingan) atau FPIC.

Hadirnya para utusan dari negara Philipina, Nepal, Vietnam, Malaysia, USA, United Kingdom, Italy, Brazil, Panama, Kenya, Gambia Bolivia, Mexico, New Zealand, Netherland membuat geger aparat pemerintah dan warga Kabupaten Deli Serdang yang belum pernah dikunjungi oleh utusan masyarakat adat secara global.

Konferensi Global Pemetaan wilayah adat akan berlangsung dari tanggal 25-28 agustus 2013 di Tuk-tuk, Samosir, Propinsi Sumatera Utara, dimana  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Tebtebba bertindak sebagai penyelenggara.

Sebelum para peserta berangkat ke lokasi konferensi, peserta lebih dahulu mengunjungi kampung rakyat penunggu yaitu Kampung Tanjung Mulia yang telah mendapatkan keputusan Mahkamah Agung sebagai pengakuan dan perlindungan atas tanah adat rakyat penunggu.

Harun Nuh yang merupakan Ketua Umum BPRPI dan Ketua Pelaksana Harian AMAN Sumut bersama Pimpinan dan warga Rakyat Penunggu Kampong Tanjung Mulia menyambut para delegasi konferensi. Harun Nuh yang maju sebagai calon Bupati Deli Serdang periode 2014-2019 melalui Jalur Independen memberikan kata sambutan dan kesaksian sejarah perjuangan Rakyat Penunggu sejak tahun 1953. Kesaksian perjuangan memenangkan meja hijau (proses pengadilan) atas konflik tanah adat Rakyat Penunggu melawan PTPN II sebagai perusahaan negara yang merampas dan menguasai tanah adat Rakyat Penunggu selama puluhan tahun dan pada akhirnya atas putusan Mahkamah Agung tersebut memenangkan Rakyat Penunggu Kampong Tanjung Mulia sebagai pewaris tanah adatnya.

Tepat Pukul 14.00 Harun Nuh melepas seluruh delegasi berangkat menuju Tuk-tuk Pulau Samosir yang akan mengikuti konferensi Global Pemetaan Wilayah Adat.***            ( Arifin Monang Saleh)

Dialog RUU PPHMA AMAN Tana Luwu

$
0
0

Dialog RUU PPHMA di Tana Luwu

Palopo – Dialog Para Pihak kembali digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tana Luwu, Kegiatan yang dilaksanakan pada hari kamis (22/08/2013) bertempat di Hotel Agro Wisata Kota Palopo. Dialog ini dihadiri oleh perwakilan Komunitas Masyarakat Adat, Organisasi Kemahasiswaan, NGO, Kapolres Kota Palopo, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan. Hadir sebagai narasumber Dr.H.Suedi,S.Pd.,M.Si (Rektor Universitas Cokroaminoto) Ir. Abdullah (mewakili Walikota Palopo), Andi Maradang Mackulau, Opu Bau’ (Datu Luwu ke-40) dan Koordinator Biro Advokasi AMAN Tana Luwu Abd. Rahman Nur.

Pada acara dialog tersebut Datu Luwu Andi Maradang Mackulau dalam sambutannya mengatakan; “Lahirnya RUU PPHMA merupakan sebuah langkah maju, karena masyarakat adatlah pemilik asli dari negara yang sekarang bernama Indonesia. Menurut pemahaman saya Kedatuan dan Masyarakat Adat di Tana Luwu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, tidak mungkin ada Kedatuan Luwu kalau tidak ada masyarakat adatnya, hubungan sinergis antara masyarakat adat dengan Kedatuan Luwu bersama Rajanya To Manurun telah terjalin baik sejak awal berdirinya Kedatuan Luwu.

Berbeda dengan kesultanan atau kerajaan lain yang terlepas dengan masyarakat adatnya.  Pada kesempatan yang baik ini saya menegaskan bahwa Kedatuan Luwu akan selalu ada bersama-sama AMAN, khususnya AMAN Tana Luwu, mengawal percepatan pengesahan RUU PPHMA menjadi undang – undang,” sambut beliau.

Abdul Rahman Nur pembicara mewakili AMAN Tana Luwu mengatakan, bahwa dialog ini untuk membangun kesepahaman bersama berbagai pihak di tingkat lokal, dalam hal ini wilayah Tana Luwu (Kab. Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur). Dari kegiatan ini diharapkan adanya masukan serta rekomendasi agar dapat mendorong percepatan pengesahan RUU PPHMA. Abd. Rahman Nur menambahkan bahwa  sejak tahun 2011 s/d 2012, DPR RI Melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) telah mengajukan Rancangan Undang – undang Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengakuan terhadap hak Masyarakat Adat di Indonesia. Pada pertengahan bulan Mei 2013 kemarin, Presiden RI telah mengeluarkan sebuah amanat guna mempercepat pengesahan RUU PPHMA menjadi UU PPHMA sebagai satu pedoman atau regulasi yang mengatur eksistensi Masyarakat Adat di Indonseia untuk membentuk kerjasama 4 Kementrian (1) ESDM, (2) Kehutanan, (3) Menhukum dan Ham, (4) Mendagri.

Hal senada disampaikan Rektor Universitas Cokroaminoto Palopo Dr. Suedi, bahwa permasalahan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat adat adalah sengketa lahan wilayah adat mereka dengan pemerintah dan perusahaan. Menurutnya permasalahan tersebut muncul sejak tahun 1975, dimana semua struktur adat  dihilangkan setelah masuknya Sistem Pemerintahan Desa. Oleh karenanya semua struktur perangkat adat hilang berikut tatanan budaya, dampak paling besarnya adalah kerusakan lingkungan.

Tapi dengan adanya respon positif dari pemerintah Indonesia, DPR RI juga  AMAN yang telah  menginisiasi lahirnya  RUU PPHMA merupakan terobosan yang luar biasa bagi perkembangan Politik Hukum di Indonesia, dimana masyarakat adat ditempatkan bukan lagi menjadi objek pembangunan akan tetapi menjadi subjek atau pelaku pembangunan. Namun  menurutnya apapun bentuk undang-undang ini ketika disahkan pusat, itu tidak akan berpengaruh apa-apa jika masyarakat adat tidak punya aksi sendiri.  Masyarakat adat  harus memperlihatkan kepada dunia bahwa masyarakat adat kita ini kuat dan bersatu.*** (Abdi Akbar)

Pelatihan Fasilitator Pengembangan Ekonomi Komunitas Masyarakat Adat

$
0
0

Pengembangan ekonomi masyarakat adat

Jakarta. Pada tanggal 15 – 19 Agustus 2013 lalu di Hotel Akmani Jakarta, diselenggarakan Pelatihan Fasilitator Pengembangan Ekonomi Komunitas Masyarakat Adat yang diikuti oleh 16 Kepala Biro Ekosob Pengurus wilayah AMAN.

Secara khusus pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para fasilitator yang juga adalah pengurus wilayah untuk menjalankan peran dan fungsi  pendampingan usaha masyarakat adat anggota AMAN memanfaatkan semaksimal mungkin potensi sumberdaya alam yang ada di wilyah adat sesuai dengan perencanaan yang telah di sepakati oleh Komunitas Adat itu sendiri dengan mengacu kepada nilai-nilai kearifan yang mereka miliki, hukum bisnis dan keberlanjutan kehidupan.

Pelatihan dimulai dari bagaimana cara membangun komunikasi yang baik dan mengetahui potensi yang ada dalam diri mereka melalui test MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). Beberapa peserta kaget dengan hasil testnya, setelah mengetahui bahwa potensi dirinya adalah di bagian pemasaran, di bagian strategi, di bagian komunikasi dan lain sebagainya.

Dalam perbincangan santai dengan Biro Ekosob PW AMAN Sulawesi Tengah, Pak Yakob Taha, mengatakan,” saya mendapat tambahan ilmu baru, karena selama ini saya hanya belajar advokasi kasus yang terkait dengan konflik, namun ternyata masalah ekonomi juga sangat penting,” ujarnya.

Lain lagi yang dikatakan oleh Biro Ekosob PW AMAN Sulawesi selatan Nurhaji Madjid “Seharusnya dari dulu AMAN sudah membicarakan ekonomi, karena sangat penting dan tidak selalu bicara kasus konflik saja”.

Dalam pelatihan ini AMAN dibantu oleh para Fasilitator professional yang berasal dari Konsultan Bisnis Usaha Masyarakat, Sahabat Indonesia Lestari (SIL) yang merupakan lembaga pendamping, fasilitator dan konsultan bagi bisnis-bisnis masyarakat, berperan besar dalam mengembangkan kerajinan-kerajinan yang beraal dari Komunitas adat di Kalimantan dan menjadikannya menjadi barang-barang premium yang diminati oleh konsumen Jakarta, melalui mitra usahanya Borneo Chic Galery di bilangan Kemang Business.

Pelatihan yang dilakukan selama 5 hari tersebut diisi dengan berbagai materi-dan praktek yang merupakan dasar-dasar dalam kewirausahaan komunitas, pengembangan usaha di komunitas sesuai dengan potensinya, studi banding ke galeri kerajinan yang menjual-produk-produk yang berasal dari komunitas, melakukan uji coba kemampuan personal dalam melakukan perencanaan usaha, praktek pameran pada AMAN Expo 2013 diselenggarakan dalam rangkaian acara hari Internasional Masayarakat Adat Se-Dunia.

Pelatihan ini juga membuka wacana soal bagaimana bisnis komunitas dimulai dari ide-ide mengembangkan kapasitas komunitas dalam kewirausahaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Peluang pasar yang ada dan bagaimana mempertahankan kwalitas – kwantitas, keberlanjutan serta berpegang teguh pada nilai-nilai adat yang dimiliki untuk mendukung peningkatan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang.

Para peserta yang sebagian besar berasal dari komunitas adat untuk pertama kali diajak berpikir dan menyadarai potensi apa yang ada dalam dirinya dan komunitas, serta anggota AMAN. Kemudian mulai memikirkan apa yang dimaksud dengan usaha komunitas, bagaimana mengidentifikasi, merencanakan dan  menjalankan usaha komunitas, baik yang sudah ada maupun yang sedang diupayakan oleh komunitas agar usaha-usaha itu memenuhi aspek-aspek wira usaha komunitas sebagai upaya menuju kemandirian ekonomi komunitas.

Para peserta bersepakat untuk terus mengasah dan mengembangkan kemampuannya  mendampingi dan menginisiasi bisnis-bisnis komunitas dengan terus berkomunikasi, bertukar pendapat, berdikusi dan saling membantu dalam upaya menjadi fasiliatator yang baik bagi komunitas anggota AMAN diwilayah masing-masing. Untuk itu dibentuk jaringan fasilitator usaha Masyarakat adat (JFUMA).
Pada hari terakhir, peserta mengunjungi Alun-alun Indonesai yang merupakan salah satu pusat penjualan craft masyarakat adat di kawasan elit Bundaran Hotel Indonesia. Para peserta takjub dan heran. “Wah ini kok harganya segini disini?,” komentar para peserta.

Intinya para pesrta tidak percaya kalau produk mereka itu dijual mahal oleh Galeri Alun-alun Indonesia. Pengelola Alun-alun Indonesia, Ibu Dolly mengatakan; “Jangan menilai produk sendiri, artinya teruslah berkarya sesuai dengan semangat yang ada di tempat saudara-saudari, karena penilaian kita berbeda. Penilaian terhadap barang anda oleh anda sendiri dengan kami berbeda. Bisa saja di tempat Anda barang ini nilainya rendah dan jelek. Tapi di sini anda lihat sendiri penilaian konsumen dan penggemar tidak sama dengan Anda. Jadi teruslah berkarya dan berbuat untuk tetap melestarikan budaya dan adat Anda,” ujarnya. Para peserta bersemangat dan mungkin dalam pikirannya mulai memikirkan apa langkah ke depan untuk bisa memasukan barang-barang craft dari daerahnya ke tempat seperti Alun-alun Indonesia.*** (Taryudi Caklid / Feri)

Investigasi Media ke PT Toba Pulp Lestari & Komunitas Sipituhuta-Pandumaan

$
0
0

Investigasi Media ke PT Toba Pulp Lestari & Komunitas Sipituhuta-Pandumaan

Tele 26 Agustus 2013. Para jurnalis dari berbagai media nasional mengunjungi wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang-Hasundutan, Sumatera Utara.

Tim kunjungan menjadi lengkap dengan hadirnya Kordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Kasmita Widodo, Rahman Adi Pradana dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), serta Jhon Toni Tarihoran dari AMAN Tano Batak. Dua warga Sipituhuta-Pandumaan, Pandiangan (Ama Kristina) dan Lumban Batu (Ama Lisbon) juga turut.

Saat tiba di pos masuk TPL Tele, petugas keamanan menginterogasi Ama Lisbon.  Kemudian Ama Lisbon jadi ‘jaminan’ seluruh tim kunjungan.

Petugas keamanan tidak mengizinkan tim media memasuki wilayah konsesi TPL. Alasannya, saat itu sedang ada rapat di kantor dan pihak Humas tidak bisa mendampingi tim media.

Perwakilan tim media menyatakan tidak membutuhkan pendampingan Humas TPL, karena mereka hanya ingin mengunjungi hutan kemenyan dan sudah ada warga Sipituhuta-Pandumaan ikut mendampingi mereka.

Petugas keamanan TPL bersikeras melarang tim media masuk, lalu salah seorang jurnalis menelepon seorang petinggi TPL. Tak lama berselang, seorang pejabat TPL, mengaku bermarga Ritonga, datang dan akan mendampingi tim media.

Lima mobil tim media kemudian diarahkan ke kantor TPL Tele. Tim kunjungan menunggu di depan kantor dan menolak saat diajak makan siang bersama. “Kami tidak mau minum atau makan apa pun di TPL ini,” kata Ama Lisbon dalam bahasa Batak.

Perjalanan menuju tombak haminjon (hutan kemenyan) dipimpin mobil pegawai TPL, di belakangnya menyusul mobil yang dinaiki warga Sipituhuta-Pandumaan. Pada satu pertigaan, mobil TPL mengarahkan tim ke arah kiri, namun tim kunjungan menolak mengikutinya. “Itu ke arah lahan yang masih bagus, kita lurus saja ke hutan yang sudah dirusak TPL,” kata Ama Lisbon. Karena tak ada yang mengikutinya, mobil TPL itupun balik mundur dan mengambil jalan lurus, searah dengan keinginan tim kunjungan.

Di sepanjang jalan, tim media menyaksikan lahan bekas hutan kemenyan yang kini  berganti menjadi pohon eucalyptus, ada pula lahan yang baru ditanami. Menurut Pandiangan, TPL telah setuju tidak akan menanami lagi lahan-lahan tersebut dengan eucalyptus, namun praktik di lapangan ternyata berbeda.

Tim media juga melihat batang-batang kayu kemenyan, kayu meranti ditumpuk di tepi jalan dan telah dinomori.

Menurut informasi Ritonga penanaman di wilayah ini telah tiga kali dan area yang ditanam ulang hanya bagian dekat jalan. Sementara di bagian dalam masih terlihat batang-batang pohon besar baru ditebang dan itu bukan batang pohon eucalyptus.

Sepulang dari wilayah konsesi TPL, tim media mengunjungi komunitas adat Sipituhuta-Pandumaan. Mereka disambut para tetua kedua desa. Para tetua menceritakan kronologi perjuangan mereka mempertahankan tombak haminjon yang telah diwariskan selama belasan generasi.

Pada 2010, Pansus DPRD Humbang-Hasundutan dilaporkan melakukan pemetaan ulang tata batas. Pemetaan ulang ini dilakukan karena TPL tidak pernah membuat tata batas proyek, hanya jalur trayek.

Pasca pemetaan ulang ini TPL ternyata tetap melakukan penebangan. Telah 500 hektare tombak haminjon yang ditebangi.

Pada 25 Februari 2013, Pandumaan-Sipituhuta mengadukan TPL ke Kapolres, namun nihil respon.

TPL tidak pernah mengajak warga Sipituhuta-Pandumaan berdiskusi mengenai peta konsesi. “Ini tidak sah secara hukum,” kata Kasmita Widodo dari JKPP.***Mona Sihombing

Pemetaan Partisipatif Butuh Harmonisasi Lokal dan Nasional

$
0
0

Pemetaan Partisipatif Butuh Harmonisasi Lokal dan Nasional

Tuktuk, 27 Agustus 2013. “Untuk memajukan pemetaan partisipatif, perlu harmonisasi antara kebijakan nasional dan lokal,” papar Mina Susana Setra, Deputi II PB AMAN- Advokasi, Hukum & Politik. Pernyataan ini disampaikan pada hari ke-tiga Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Komunitas di wilayah-wilayah Masyarakat Adat, Selasa (27/8).

Melalui presentasi tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah baik lokal maupun nasional, untuk melibatkan Masyarakat Adat dalam pembuatan serta keputusan perencanaan spasial lokal dan nasional.

AMAN juga mendesak penggunaan peta-peta wilayah adat dalam implementasi beberapa Nota Kesepahaman antara AMAN dan pemerintah (melalui Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup, Komnas HAM).

Pada saat yang sama, AMAN juga menuntut pemerintah agar mengakui dan secara resmi mendaftar wilayah-wilayah Masyarakat Adat. Oleh karenanya proses pembuatan peta indikatif wilayah-wilayah Masyarakat Adat perlu dipercepat. Proses ini telah dimulai  dengan adanya pembuatan peta indikatif lembah sungai, sekaligus mendukung putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Terkait putusan MK tersebut, AMAN mendesak Presiden untuk segera menerbitkan peraturan kepresidenan terkait penerapan-pelaksanaan putusan itu.

Desakan lain AMAN adalah agar pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi pengetahuan lokal-tradisional serta keanekaragaman hayati yang berada di dalam wilayah-wilayah Masyarakat Adat.

Sedangkan pada skala internasional, AMAN melihat kebutuhan untuk memiliki sebuah peta global wilayah-wilayah Masyarakat Adat. Pemetaan wilayah adat juga perlu disosialisasikan ke komunitas internasional dan para pembuat kebijakan.

Hari ke-tiga konferensi yang dihadiri perwakilan 17 negara ini, ditutup dengan rancangan Deklarasi Danau Toba terkait pemetaan partisipatif komunitas di wilayah-wilayah adat.***Mona Sihombing


Indigenous communities deploy high-tech mapmaking to staunch global land grab Published On Friday, August 30, 2013

$
0
0

Published On Friday, August 30, 2013
SAMOSIR, NORTH SUMATRA (30 August 2013)—With governments, loggers, miners and palm oil producers poaching their lands with impunity, indigenous leaders from 17 countries gathered on a remote island in Sumatra this week to launch a global fight for their rights that will take advantage of powerful mapping tools combined with indigenous knowledge to mark traditional boundaries.

“It’s amazing to see indigenous groups from all over the world coming here armed with hundreds of detailed maps they have created with things like handheld GPS devices and Internet mapping apps,” said Vicky Tauli-Corpuz, head of the Philippines-based Tebtebba, one of the co-organizers of the Global Conference on Community Participatory Mapping on Indigenous Peoples’ Territories, which took place on the edge of the largest volcanic lake in the world. “It’s a new and vivid way to illustrate how they and their ancestors have inhabited and worked these lands for thousands of years and have every right to assert their ownership.”

Indigenous groups from countries including Malaysia, Nepal, Panama, Mexico and Brazil, explained how they have adopted affordable, high-tech mapping technology to retrace the history of their land ownership and catalog their natural resources. Their hope is that detailed maps can help them fight the destruction of vast tracks of forests, peatlands and waterways—brazen incursions by government and industry that not only deprive indigenous peoples of their lands but also greatly accelerate the global loss of biodiversity and accumulation of greenhouse gases in the atmosphere.

For example, participants at the conference believe maps of this sort could help bolster the fight in Indonesia to stop the steady loss of traditional lands to palm oil production, logging and other industrial needs. Participants issued a declaration calling on the government of Indonesia to pass legislation, currently under consideration by the nation’s Parliament, which would provide new protections for the country’s 50 million indigenous peoples.

“We need to take advantage of new mapping tools to accelerate the process of mapping the more than 30 million hectares we have left to document—before they are swallowed up by plantations,” said Abdon Nababan, secretary general of Indonesia’s Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (AMAN), which has helped communities across the country to map their customary forests as part of their efforts to defend their lands against development by palm oil and other industrial plantations and mining.

A recent report stated that the Indonesian government’s continued practice of granting national and international companies permission to convert millions of hectares of forests to palm oil and other plantations on lands that overlap with or abut indigenous territories often leads to the displacement of indigenous peoples—and a rash of sometimes-violent land disputes. The report on the state of large-scale agribusiness expansion in Southeast Asia by the Forest Peoples Programme, also noted that the country faced more than 280 land conflicts across the country in 2012.

“Lines on a map have always been a source of conflict, but they are becoming more and more contentious around the world today,” said Tauli-Corpuz. “In many cases, government and military maps don’t acknowledge the presence of indigenous territories, leaving these communities vulnerable to land rights violations and conflicts, as well as the loss of their sustainable livelihoods, the onset of poverty, environmental degradation, and the loss of cultural heritage. Indigenous peoples are creating maps to protect their customary lands.”

Sleek computer-generated Indonesian maps presented at the conference documented cases in which the government had handed over indigenous territories to developers. In the case of the Lusan community in Borneo, three different government agencies had handed a community’s land over to three different companies—a logging group, a mining operation and a palm oil plantation.

“Without maps, it is difficult for indigenous peoples to prove that they have occupied their ancestral lands for centuries,” said Giacomo Rambaldi, a senior program coordinator at the Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation (CTA), who has helped indigenous peoples to develop maps for more than 15 years. “If you are able to document and map your use of the resources since time immemorial, you have a chance of asserting your rights over land and water.”

It Takes a Village

Unlike satellite images or traditional political maps, the maps presented at the conference document key cultural and social sites, such as burial grounds, caches of medicinal plants, hunting trails or groves of specific species of trees. Based on pre-existing maps, satellite images or coordinates generated by hand-held GPS devices, these computer-generated documents or models record knowledge passed down through generations and integrate input from the entire community—including women and youth.

Conference participants heard that indigenous communities have successfully used these maps to protect their lands from land grabs and to monitor the impact of external forces on their lands.

In Brazil, South America’s largest democracy, an Afro-Brazilian community used a map to stop Cyclone-4, a space company jointly owned by Brazil and Ukraine, from expanding into their lands to build rocket launchers. These maps refuted claims by the company that only 10 communities would be impacted by the development by showing that more than 100 communities would be displaced. Cyclone-4′s expansion was blocked—though the government continues its efforts to build the rocket launchers on indigenous territories.

In Panama, which loses one percent of its tropical forests each year, members of the Guna community created a map—in the Guna language—to determine if the expansion of croplands had damaged sacred sites located in the rainforests surrounding their community. The map also served to show younger generations where these sites are located.

In Indonesia, the village of Pandumaan produced hand-drawn maps to scale, based on GPS data, to show that a pulp and paper company encroaching on their lands had razed the forests they rely on for myrrh—a fragrant resin that they sell for a living and use in spiritual rituals.

In Malaysia, which, along with Indonesia, is a leader in palm oil production, communities have used maps to win 25 of the 250 land disputes brought in front of the courts since 2001. The government continues to appeal the 25 cases that it lost in an attempt to regain the lands from indigenous peoples.

40 Million Hectares by 2020

Indonesia’s 2,200 indigenous communities, spread out across the country’s 18,307 islands, are the most prolific indigenous map-makers, the conference revealed. These mapping efforts have added urgency, since the country’s Constitutional Court decided in May that a line in the country’s 1999 Forestry Law, which states that customary forests are state forests, is not constitutional. To take advantage of this decision, which would first have to be implemented in national and local law, experts from the conference said it’s crucial for indigenous peoples to put these forests on paper.

AMAN’s Abdon Nababan said that he hopes to help map all 40 million hectares of land by 2020, and he called on the national Parliament to speed up the adoption of the Law on the Recognition and Protection of the Rights of Indigenous Peoples. The body is currently reviewing a draft of the law.

“Without Indigenous Peoples, There Would Be No Forests”

“Mapping not only empowers indigenous communities with evidence that they can use to assert their land rights, it also provides communities with the ability to catalog the natural resources sheltered in their territories,” said Tauli-Corpuz, the head of Tebtebba. “These maps successfully demonstrate what we already know: that indigenous peoples are the best custodians of their forests and lands.”

A study by The International Union for Conservation of Nature finds that biodiversity thrives in indigenous territories where communities are free to engage in hunting and other sustainable uses of natural resources—as opposed to state-held protected areas that ban such activities.

The National Coalition of Indigenous Peoples (KASAPI) in the Philippines arrived at the same conclusion. The project, which inventoried the resources in indigenous communities across the country, concluded from evidence gathered on the ground and from village elders—who recalled which species of plants have disappeared since their youth—that forests and lands owned and managed by indigenous peoples have stronger biodiversity than those that are under government control.

According to conference participants, maps that document a territory’s biodiversity provide indigenous communities and national governments alike with “baseline” knowledge about the health of their natural resources, enabling them to monitor changes to natural resources, such as the restoration—or degradation—of forests over time. Participants added that maps like these can show the impacts of climate change—and aid in the tracking of global efforts to reduce greenhouse gas emissions.

Vu Thi Hien of the Centre of Research and Development in Upland Areas (CERDA), taught members of the Thai Nguyen community in Vietnam how to map in order to support an international climate change effort to reduce climate change through the protection and preservations of forests, known as REDD+. She said that local authorities were so impressed with the professionalism and accuracy of the maps that they adopted the maps for their own use.

“If the community is not empowered to assert their rights, they can only go so far, even with strong laws supporting land rights,” Tauli-Corpuz said.

Sumber: http://iva.aippnet.org/indigenous-communities-deploy-high-tech-mapmaking-to-staunch-global-land-grab/

Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Tolak Bermitra dengan TPL

$
0
0

Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta Tolak Bermitra dengan TPL

Jakarta 2 September 2013. Tawaran kemitraan yang disampaikan oleh Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian bersama TPL ditolak utusan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta.Pertemuan yang berlangsung di Gedung Sonokeling, Manggala Wanabakti ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas kunjungan kerja Bambang Hendroyono Dirjen BUK Kehutanan, pada 29 Mei 2013 lalu ke wilayah Kecamatan Pollung, Kab Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Tawaran untuk bermitra tersebut adalah upaya Dirjen Bina Usaha untuk menyelesaikan permasalahan lahan antara TPL dengan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta kata Bambang Hendroyono membuka pertemuan. Namun Bambang juga menekankan bahwa semua itu tidak lepas dari kaidah hukum yang berlaku sekaligus menunggu disahkannya payung hukum RUU PPHMA.

Dalam pertemuan ini hadir 10 utusan warga masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, mewakili Kadis Kehutanan Prov Sumut, Asisten I Pemkab Humbahas Tonny Sihombing, Kadis Kehutanan Humbahan Happy Silitonga, Camat Pollung Sumitro Banjar Nahor, Direktur TPL Juanda Panjaitan dan Leo Hutabarat.

Warga Pandumaan umumnya menyesalkan hadirnya konsesi TPL di wilayah adat mereka karena pengahasilan hutan kemenyan menurun drastis karena semua pohon pelindung yang ada di areal hutan kemenyan mati kering. James Sinambela Ketua Dewan Adat Daerah AMAN Tano Batak mengatakan permintaan warga Pandumaan-Sipituhuta hanya satu yaitu hutan kemenyan mereka dikeluarkan dari areal konsesi TPL.

Ronald Lumban Gaol menyatakan bahwa keputusan warga dan tetua-tetua di kampung sudah bulat yaitu dikeluarkan, meski hal itu tidak sesuai dengan keinginan Dirjen Kehutanan. Sebab TPL sebenarnya tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Ke depan yang paling penting bukan penguasaan hutan kemenyan tetapi supaya situasi kondisif di tengah masyarakat bisa terpelihara.

Sementara itu Tonny Sihombing mewakili Pemkab Humbahas menyatakan bahwa Pemkab Humbahas sudah berusaha memulihkan hak-hak masyarakat adat tapi belum bisa mendatangkan hasil sebab belum adanya Perda Adat di Kabupaten Humbahas.

Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi menganjurkan untuk melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lebih besar, tidak hanya persoalan hutan produksi, tidak hanya hak-hak masyarakat. Kita juga harus bisa melihat nuansa bahwa hukum hutan sudah berubah.

Sebenarnya ada dua putusan Mahkamah Konstitusi yang harus kita sikapi. Kita tahu bahwa Undang-Undang no 10 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Di situ ada perintah pada pemerintah untuk memperhatikan putusan MK dalam melakukan kebijakan.

Dalam putusan MK no 45 itu sama sekali tidak jalan sampai sekarang. SK 44 itu ditunjuk sebelum dikukuhkannya kawasan hutan tersebut, oleh karena itu kita juga harus memperhatikan putusan MK no 45.

Artinya saya mengusulkan kepada Kementerian Kehutanan membuat list (daftar) daerah-daerah konflik, untuk menjadi prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan. Saya kira terjadinya konflik di Sumatera Utara-Humbahas itu bisa dijadikan contoh bagaimana putusan MK no 45 dilaksanakan.

“Kemudian adanya Putusan MK no 35 dan adanya revisi undang-undang kehutanan. Jadi kalau kita besikukuh pada Undang-Undang Kehutanan tanpa melihat adanya upaya-upaya reformasi kehutanan, kita sebenarnya tidak berkontribusi besar dalam penyelesaian konflik. Di sini pemerintahan daerah seharusnya mengambil peran yang lebih besar. Tetapi perlu diingatkan bahwa Perda yang dibuat Pemerintah Daerah itu tidak melulu menjalankan undang-undang kehutanan tapi juga tenurialnya (melestarikan hutan sekaligus menciptakan keadilan),” papar Erasmus.***Jeffar Lumban Gaol

Konflik Agraria: Antara Tanah Tuhan dan Tanah Tuan-Tuan

$
0
0

7 April 2012. KONFLIK agraria masih saja merambah Nusantara, di televisi, di radio dan di  koran-koran terus saja menjadi berita utama.

Tanah adalah salah satu obyek yang sering menjadi rebutan dan perdebatan. Tidak jarang berkembang menjadi pertikaian yang tak berkesudahan. Mewujudkan rasa keadilan dalam sektor agraria atau kebumian sudah menjadi keharusan semua pihak, baik dalam azas ketegasan hukum Negara maupun azas kepatutan Masyarakat Adat. Untuk itu penting dipahami dan direnungi kembali. sudahkan tanah, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di dudukkan sebagai perekat berbangsa dan bernegara, sekaligus hakekat hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Tuhanlah Sang Pencipta dan Maha Kuasa menciptakan tanah beserta isinya.

Dalam pelajaran di sekolah dan juga pada pelajaran agama apapun pasti mengajarkan kepada kita, bahwa bumi beserta isinya adalah ciptaan Tuhan. Sudah sepatutnya permasalahan agraria dapat mengantarkan kita pada pendalaman dan pemahaman tentang relasi antara manusia dan Tuhan. Dengan demikian manusia dalam hakekat hidup bersama di atas tanah atau bumi, dapat menuju dan meyakini kembali sebagai mahkluk yang berketuhanan.

Sektor agraria telah banyak diatur dalam Konstitusi Negara kita. Negara dimandatkan oleh rakyat untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Cita-cita mulia tersebut semestinya mencegah adanya pertikaian antara Negara dan Rakyat. “Tanah-tanah di Nusantara ini  semestinya dibebaskan dari dominasi kerakusan pemodal atau kekuasaan semata”.

Spirit berketuhanan dalam pengelolaan agraria masih banyak kita jumpai di berbagai komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara. Masyarakat adat mengelolanya berdasarkan kearifan. Semua aktifitas di atas bumi dilakukan atas restu, petunjuk dan hasilnya dipersembahkan lagi kepada Sang Pencipta bumi –Tuhan.  Bahkan dalam kearifan lokal masyarakat adat, tanah tidak boleh dimiliki atau menjadi kepemilikan tunggal. Warga Adat pun meyakini, untuk bisa hidup dan dihidupi oleh alam berarti banyak pula kewajiban yang harus dilakukan di atas tanah muka bumi ini.  Berdasarkan pengalaman dan kewajiban  hidup yang demikian, maka  pola hidup komunal masyarakat adat bukanlah persoalan kebetulan, tetapi sebaliknya sudah menjadi kebutuhan bersama (kepemilikan komunal).

Dalam keyakinan Masyarakat Adat lainnya, hasil bumi boleh dan akan dikonsumsi setelah dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan ijin dari Tuhan Sang Pencipta. Setelah itu hasil bumi baru bisa dikonsumsi untuk hidup dan menghidupi sepantasnya. Pola dan cara-cara hidup demikian lama-kelamaan terangkum mejadi sebuah tradisi, fungsi dan tatanan kehidupan masyarakat adat yang mengedepankan kesantunan hidup bersama alam, sebagai contoh aktivitas Subak di Bali, atau sebutan lain di tempat lain. Karena merusak alam diyakini akan merusak diri sendiri, merusak alam sama saja merusak negara sendiri.

Lalu bagaimana halnya dengan maraknya konflik agraria di berbagai wilayah? Perlu kita cermati akar permasalahannya berdasarkaan konsepsi di atas. Apakah tanah-tanah tersebut sudah dikelola berdasarkan prinsip “berketuhanan” tadi? Baik yang dilakukan oleh komunitas adat, maupun oleh negara. Jika warga di wilayah adat tidak lagi mengelola tanah dan bumi “secara adat”  bisa dikatakan warga sedang mengalami “persoalan” karena tidak mampu lagi mengelola bumi secara beketuhanan. Dengan demikian negara berhak mengambil alih pengelolan tanah tersebut atas mandat konstitusi. Karena dalam mukadimah atau konsideran konstitusi atau peraturan dan perundang-udangan lainnya selalu menyebut atau tertulis “ Atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, menimbang, mengingat dan menetapkan dan seterusnya.

Lebih jauh bagaimana halnya jika Negara tidak mampu lagi melaksanakan mandat konstitusi dalam pengelolaan tanah tadi? Tentu sama saja, “Negara bisa juga dikatakan lalai atau tidak melaksanakan prinsip-pirinsip pengelolaan tanah secara berketuhanan, karena hasil bumi tidak lagi mampu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.  Malah di beberapa tempat, dan negara melakukan pembiaran tanah tersebut menjadi “Tanah Tuan-Tuan”, atau milik segelintir “Para Tuan Tanah”. Jika negara dan rakyat sudah tidak lagi mampu mengelola tanah secara berketuhanan, maka sangat wajar jika tanah tersebut tidak akan menciptakan kesejahteraan, tapi sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. “Jadi, kedua pihak Rakyat atau Negara bisa saja melakukan kelalaian”.

Di Bali, saya diigatkan oleh konsepsi dan filosofi “Tanah DWE” yaitu tanah milik umum, tanah suci, tanah sakral, tanah tenget, atau tanah milik Sang Pencipta. Tanah DWE tidak bisa diutak-atik sembarangan, Tanah DWE wajib dibiarkan apa adanya, bahkan warga pun tidak berani menghuni, meminta atau menjualnya.

Dalam konsepsi dan keyakinan berbeda, status Tanah DWE juga bisa ada karena Rakyat dan Negara sama-sama sadar, bahwa dengan tidak mengelolanya pun tanah atau kawasan tersebut sudah memberi manfaat atau rahmatnya, seperti air, udara dan  hasil bumi lainnya. Dalam kasus ini, negara dan aparatur negara benar-benar menjadi motivator dan inspirator dalam mengelola tanah secara berketuhanan tadi.

Biasanya, memanfaatkan hasil Tanah DWE harus selalu didahului permohonan ijin dan penghormatan, karena melalui Tanah DWE lah diyakini, Tuhan akan selalu memberi rahmatnya. “Sampai di mana Tanah DWE tersebut dapat memberi manfaat langsung bagi warga, sampai disanalah akan terjadi relasi dan koneksi antara warga dengan Tanah DWE tersebut”.  Hubungannya bisa lintas warga, bisa juga lintas wilayah, bahkan lintas negara sekalipun. Di Bali, Tanah DWE itu bisa berupa gunung, bukit, hutan, atau lainnya. Hingga kini keyakinan tersebut masih terpelihara dalam satu kesatuan tradisi dan budaya. Leluhur orang Bali merangkum dan mewariskannya dalam bahasa dan makna pelestarian dengan istilah “Bhisama Kesucian” (Petunjuk Suci).

Semoga maraknya konflik agraria yang terjadi selama ini bisa mengingatkan dan meyadarkan. Sudahkah kita benar-benar menjalankan spirit berketuhanan dalam berkehidupan sebagai Masyarakat Adat dan Masyarakat Negara? Seharusnya Negara dan Rakyat sama-sama bekerjasama dalam satu Visi dan Misi untuk mengelola sektor agraria di republik ini secara berketuhanan tadi. ”Jika tidak, Tuhan melalui hukum alam (Rta) akan memverifikasinya”.

Ke depan Keragaman Adat dan Kebersamaan Bernegara seharusnya bisa dirajut untuk mengurai kembali kebuntuan dan kebutuhan pengelolaan agraria di berbagai wilayah Nusantara yang sesungguhnya. “Sila pertama dalam dalam Dasar Negara kita Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”  saya yakini benar adanya”. (***).

Made Nurbawa
BPH-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bali

Short URL: http://metrobali.com/?p=5902

AMAN Desak Pemkab Landak Keluarkan Perda Hutan Adat

$
0
0

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar mendesak agar Pemerintah Kabupaten Landak mengeluarkan Perda untuk menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai putusan MK tersebut, Hutan Adat bukan lagi Hutan Negara.

Satu diantara pengurus AMAN Kalbar, Glorio Sanen menjelaskan putusan MK tersebut keluar atas permohonan Judicial Review atau Uji Materi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja telah berkomitmen untuk memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas wilayah- wilayah adat di Indonesia,” ujar Glorio, Selasa (3/9/2013)

Menurut Sanen, Presiden SBY menyampaikan hal itu saat pertemuan Tropical Forest Alliance 2020: Promoting Sustainability Productivity in the Palm Oil, Pulp dan Paper Sectors Workshop di Jakarta pada hari Kamis tanggal 27 Juni 2013.

Dia mengatakan, putusak MK bersifat final, sehingga perlu ada peratuan khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. “Adanya ini menunjukan babak baru perjuangan Masyarakat Adat di Nusantara yang selama ini negara gagal dalam melindungi hak-hak masyarakat adat,”ungkapnya.

Kemudian Glorio Sanen mengatakan AMAN Kalbar meminta kepada Pemerintah Kabupaten Landak dan pihak terkait lainnya untuk membuatkan Perda untuk menindaklanjuti putusan MK dan pernyataan Presiden SBY.

Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/2013/09/03/aman-desak-pemkab-landak-keluarkan-perda-hutan-adat

Pemetaan Wilayah Adat Jembatan Emas untuk Forest Governance

$
0
0

Siaran Pers: Pemetaan Wilayah Adat Jembatan Emas untuk Forest Governance

Masyarakat Adat Internasional menyambut baik dan mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi No.35/2013 sebagai kunci forest governance di Indonesia

Jakarta, 5 September 2013 – Masyarakat Adat seluruh dunia menyatakan pemetaan sebagai alat penting untuk inisiatif mereka dalam membangun sistem informasi dan pemantauan berbasis masyarakat. Karena itu pemetaan wilayah adat merupakan jembatan emas untuk memperbaiki forest governance secara menyeluruh sehingga konflik-konflik hak penguasaan di kawasan hutan bisa diselesaikan.

Hal tersebut salah satu bagian dari hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang telah digelar di Somosir, Sumatera Utara, pada 25 – 28 Agustus 2013. Konferensi masyarakat adat sedunia dihadiri 102 peserta dari perwakilan masyarakat adat Asia, Afrika, Amerika Latin, LSM, dan para ahli pemetaan wilayah adat.

Hasil-hasil dari Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat dipaparkan dalam konferensi pers  di Jakarta, Kamis (5/9). Hadir sebagai pembicara adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, Koordinator Nasional JKPP Kasmita Widodo, Kepala Bidang Pemetaan, Kebencanaan & Perubahan Iklim Pusat. Pemetaan & Integrasi Tematik. Badan Informasi Geospasial, Sumaryono.  Sedangkan Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru menjadi moderator konferensi pers.

Konferensi internasional masyarakat adat tersebut membuat beberapa rekomendasi global. Antara lain, masyarakat adat sedunia mendukung tuntutan Masyarakat Adat Indonesia kepada pemerintah untuk segera mengambil tindakan melaksanakan Keputusan Mahkamah konstitusi Hukum Nomor:35/PUU-X/2012 yang menyatakan Hutan Adat bukan Hutan Negara. Tindakan tersebut harus mencakup percepatan pemetaan Wilayah masyarakat adat dan pengukuhan hutan. Masyarakat adat sedunia juga mendukung seruan masyarakat adat Nusantara agar Parlemen Indonesia segera mengesahkan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.

Menurut Abdon Nababan, selama ini, masyarakat internasional menilai bahwa dukungan yang kerap mereka berikan tidak efektif memperbaiki pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Namun, Keputusan MK No.35/2013 memberikan harapan baru baru tidak hanya bagi masyarakat adat, pemerintah Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional.

“Dukungan internasional semakin kuat diberikan. Konsep, pengalaman dan pembelajaran dari negara-negara lain yang dipaparkan pada konferensi global pekan lalu akan memperkuat gerakan pemetaan partisipatif wilayah adat di Indonesia, khususnya yang terkait dengan upaya percepatan pemetaan yang harus kami lakukan 7 tahun ke depan,” kata Abdon Nababan.

Pada konfernesi ini, AMAN mengevaluasi tujuan, pendekatan, metodologi dan teknologi yang selama ini digunakan di Indonesia. Penggunaan foto citra satelit, aplikasi-aplikasi open source yang mudah diakses seperti Google Earth dan BING MAP, software pengolahan informasi geospasial seperti Quantum GIS akan memperkuat pemetaan wilayah adat dalam skala yang lebih luas dengan tetap menjamin proses yang partisipatori.

Menurut Kasmita Widodo, permasalahan pemetaan masih menjadi hal yang krusial di Indonesia karena tidak adanya satu peta resmi yang mengakibatkan departemen-departemen pemerintah memiliki petanya masing-masing. Inilah yang menyebabkan munculnya tumpang tindih ijin pengelolaan lahan hutan.

“Muara dari tumpang tindih penggunaan lahan adalah timbulnya konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dan perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan. Pemetaan partisipatif menjadi salah satu alat untuk menunjukkan keberadaan masyarakat adat atas hak dan ruang hidupnya, sehingga bisa menjadi alat menyelesaikan konflik,” kata Kasmita Widodo.

Menurut Sumaryono, saat ini Indonesia telah memiliki UU No.4/2011 tentang Informasi Geospasial yang memberikan hak kepada masyarakat untuk melakukan pemetaan. Peta yang dibuat masyarakat termasuk peta tematik yang wajib mengacu pada Informasi Geospasial Dasar (IGD) yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).

“Pada dasarnya peta tematik bisa dibuat oleh siapa pun baik instansi pemerintah, pemda, maupun setiap warga Indonesia. Dalam menyelenggarakan peta tematik, instansi pemeritah, maupun pemda berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang pun dapat menyelenggarakan peta tematik hanya untuk kepentingan sendiri dan selain yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah. Semua ini diselenggarakan untuk menuju kebijakan satu peta,” ujar Sumaryono.

Dari hasil konferensi global tersebut Indonesia, melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengantongi dukungan internasional dalam langkah percepatan pemetaan lebih dari 40 juta hektar wilayah adat di Indonesia. Pada akhirnya penyelesaian pemetaan wilayah adat akan mendukung terwujudnya satu peta resmi kawasan hutan.

Viewing all 1659 articles
Browse latest View live