Quantcast
Channel: AMAN
Viewing all 1657 articles
Browse latest View live

Hidup dikandung Adat mati dikandung Tanah

$
0
0

Masyarakat adat dayak merupakan masyarakat adat asli di bumi Kalimantan, sebagaimana telah kita ketahui Kalimantan merupakan pulau terbesar no tiga di dunia dengan luas 743.330 Km2 setelah Greenland dan Nugini (Papua) berdasarkan data yang diperoleh dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_menurut_luas_wilayah. Di Pulau Kalimantan terdapat 3 negara yaitu Brunei, Malaysia dan Indonesia. Tjilik Riwut, Gubernur pertama Provinsi Kalimantan Tengah dalam bukunya,” Dayak Membangun,” menyebutkan ada 405 sub suku Dayak yang hidup di Pulau Kalimantan (Borneo) hal ini membuktikan kekayaan budaya dan bahasa yang dimiliki oleh masyarakat adat dayak.

Di dalam melaksanakan kehidupanya masyarakat adat dayak diatur dalam suatu aturan “hukum adat” dari melahirkan hingga pemakamannya masyarakat dayak memiliki aturan dan  menjalankanya. Dalam mengelola sumberdaya alam di pulau no 3 terbesar di dunia ini pun di atur oleh hukum adat karena bagi masyarakat adat dayak tanah menjadi tulang punggung kehidupannya hal ini bisa kita lihat dari falsafah masyarakat dayak “Hidup di Kandung Adat, Mati di kandung Tanah”ini membuktikan hukum adat yang ada dan hidup di tengah masyarakat dayak. Keeksistensian hukum adat dapat kita lihat dari Kelembagaan Adat yang masih ada hingga saat ini.

Hidup dikandung Adat memiliki makna filosofis dan sosilologis yang sangat mendalam hal ini menunjukan masyarakat dayak sangat mengakui dan melaksanakan hukum adat dan dalam melaksanakan hukum adat demi keadilan terdapat suatu falsafah hokum di kalangan masyarakat dayak yaitu, “Pamangkong Ame’ Patah, dan Ularnya pun Ame’ mati,” ini merupakan salah satu falsafah dalam bahasa sub suku dayak Kanayant yaitu bahasa ahe yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu  “Tongkat pemangkung jangan patah, dan ular yang dipangkul pun jangan sampai mati” falsafah ini menunjukan mekanisme penyelesaian yang diselesaikan peradilan adat ingin menempuh “win win solutions” tentunya ini merupakan presepektif  hukum yang sangat luar biasa didalam menyelesaikan suatu perkara.

Pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat pada prinsipnya “Droit Inviolable Et Sacre”yaitu hak yang tidak dapat diganggu-gugat, bagi masyarakat dayak hutan adalah darah dan Napas (Apai Janggut, Sungai Utik) hal ini membuktikan Hutan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dayak karena hutan menjadi sumber penghidupan dan tempat dilakukanya ritual ritual adat. Hal ini dapat kita lihat secara khusus di Kalimantan barat Hutan Adat memiliki 2 jenis yaitu Hutan Adat yang fungsinya boleh diambil hasilnya demi keberlangsungan hidup masyarakat, dalam pengelolaan hutan tersebut diatur oleh “hukum adat” (Temawank) dan yang ke 2 yaitu hutan keramat yaitu kawasan hutan yang digunakan untuk ritual ritual adat dan hutan ini hasilnya tidak boleh diambil siapa saja karena peruntukannya hanya digunakan untuk upacara adat (Padagi)

“Hidup di kandung adat, Mati dikandung tanah” Falsafah ini menunjukan dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat, masyarakat dayak diatur oleh suatu aturan “hukum adat” dan falsafah ini menunjukan pentingnya tanah bagi masyarakat adat karena hutan mereka yang menjadi sumber kehidupan berada di atas tanah dan hingga dipanggil Tuhan pun masih diperlukan tanah untuk menjadi tempat peristirahatan terakhir.***Glorio Sanen


Gelar Budaya Ritus Pangan Nusantara

$
0
0

24 November 2013. Ada enam komunitas ditampilkan  dalam Gelar Budaya Nusantara pada tanggal 23-24 November 2013 lalu di Taman Persahabatan Negara Non Blok (TMII). Batak Karo, Sumatera Utara (Merdang Merde), Sedulur Sikep Pati, Jawa Tengah (Ritus Budaya Pangan Lamporan) Cigurgur-Kuningan, Jawa Barat (Seren Taun) dan  tiga komunitas anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yaitu Toraya, Sulawesi-Selatan (Ritus Aluk Pare ), Dayak Kanayatn Kalimatan-Barat ( Ritus Bauma Batahun) dan Using Kemiren-Banyuwangi, Jawa Timur (Ritus Ider Bumi).

Gelar Budaya Ritus Pangan Nusantara ini bertujuan untuk mengembangkan budaya Nusantara sebagai karakter bangsa serta memperkenalkan budaya Nusantara kepada masyarakat luas dan generasi muda.

Pada acara pembukaan disamping barisan parade peserta juga menampilkan ritus padi kolaborasi Elly Luthan, Sahuni (Banyuwangi) dan Wukir Suryadi.  Kemudian  Tari Topeng Losari, Cirebon yang terkenal lewat Bu Sawitri (Alm) pendiri sanggar Purwa Kencana. Menampilkan cucu sekaligus murid Bu Sawitri sendiri yaitu Noor Anani Maska Irman (Nani) yang merupakan generasi ke-tujuh dan penjaga warisan Topen Losari Cirebon. Nani menari di bawah siraman cahaya mentari pagi dengan iringan gamelan. Hentakan gamelan meningkahi gerakan badannya yang meliuk ke belakang  atau kaki menggantung.

Aluk Pare (Toraya)

Setelah To’ minna (pendeta)  memanjatkan doa, dua orang laki-laki berjalan perlahan sambil meniup ma’ pelle (intrumen batang padi berbalut daun enau) pekikan beberapa laki-laki memecah keheningan doa. Dibelakangnya menyusul sebelas orang perempuan, berbaris rapih mengenakan kostum seragam panjang berwarna krem cerah. Manik-manik warna-warni khas Toraya meliliti pinggang para perempuan ini. Mereka juga mengenakan topi penutup kepala berhiaskan bulu-bulu burung yang ditata rapih, sungguh indah.

Setiap perempuan memegang sebilah tongkat dan ka’ tong (istrumen  kotak berisi biji-bijian yang dibalut ikatan kain) Barisan para perempuan (toma ‘nani’) bergerak menuju pondok pabuaran yang dihiasi  berbagai macam simbol binatang. Para toma ,nani, mengumandangkan Ma’ Dondo (seni tradisi vokal perempuan Toraja) biasanya ditampilkan  dalam upacara Rambu Tukak (upacara yang diselenggarakan pada pagi sampai tengah hari). Syair-syairnya adalah ungkapan rasa syukur dan pujian kepada sang pencipta atas panen yang berhasil dan  harapan untuk masa depan.

Dengan tehnik vokal harmoni sederhana Ma’ Dondo mampu menghipnotis penonton. Bagaikan mantra atau drone yang disuarakan secara panjang, berulang-ulang,   menyiratkan satu hal, bahwa seni vokal tradisi yang mereka tampilkan adalah murni warisan leluhur Suku Toraya, mereka tampil memukau dan percaya diri.

Meskipun bentuk susunan bunyi ditampilkan penggabungkan konsep drone, namun  pada saat nada-nada panjang bersinggungan dengan pola melodis utama, memanfaatkan konsep minimalis (tri tone) tiga nada yang menghasilkan nada dissonance (penggabungan nada vokal, terstruktur dan berkesinambungan) memunculkan efek harmoni celestial yang unik.

Menurut Rizaldi Siagian (pakar Etnomusikolgi) ada tiga nada dengan interval lebih kurang dari 300 cent (+/- 260 cent) ke atas dari nada pokok dan sekitar kurang dari 200 cent ke bawah (Bb(+/-) – C – Eb-) dan tehnik chanting Ma’ Dondo Toraja ini adalah teknik vokal tertua di dunia, mungkin lebih tua dari tradisi musik vokal Bulgaria.

Tradisi Bauma Batahun (berladang) Dayak Kanayatn.

Tradisi bercocok tanam masyarakat adat Dayak Kanayatn dilaksanakan dengan beberapa tahapan. Mulai dari Babrukng, Sambayang Basi, Ngawah, Nunu, Nugal, Ngalamo Lubang Tugal, Ngikat padi, Ngalayukan Bontokng, Matahatn, Naik Dango. Tahapan ritual ini memperlihatkan betapa dekatnya Komunitas Dayak kanayatn dengan alam semesta. Ritual Baburukng, misalnya, adalah ritual untuk meminta petunjuk dari Jubata (Sang Pencipta) dan alam sebelum kegiatan bercocok tanam dimulai.

Petunjuk itu akan mereka peroleh melalui pertanda kicauan burung. Apabila burung-burung berkicau, itu menjadi pertanda bahwa di situlah lokasi yang cocok untuk berladang dipastikan. Dalam Gelar Budaya Nusantara 2013 ini, penyajian Bauma Batahutn diekspresikan melalui gerak/ fragmen adegan mimetis, kegiatan berladang melalui tari-tarian kreasi mereka.

Ritus Bauma Batahun juga menampilkan sosok seorang anak berusia 12 tahun bernama Panji, tapi sudah mampu memainkan alur melodi utama dalam tradisi musik orang Kanayatn Kec Menjalin, Kalimantan Barat. Secara mengagumkan, Panji merangkai seluruh ritus lewat tiupan sulingnya dan mengiringi tari-tarian dalam tradisi panen padi Masyarakat Adat Kanayatn. *** Jeffar Lumban Gaol

Pemuda Adat Laksanakan Rakernas I BPAN

$
0
0

Sanur, 1 Desember 2013 - Duapuluh pengurus wilayah dan daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menghadiri Rapat Kerja Nasional I BPAN, Sabtu (30/11). Ini adalah rakernas pertama sejak organisasi tersebut dibentuk dalam Jambore BPAN di Bogor pada 29 Januari 2012.

Rakernas dibuka secara resmi oleh Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan. Sebagai organisasi sayap AMAN yang dirancang untuk mengembangkan generasi penerus pemimpin adat, Abdon bertanya kepada para pemuda adat tersebut mengenai apa yang dapat dikontribusikan oleh BPAN dan rakernas ini terhadap gerakan masyarakat adat.

Dalam kata sambutannya, Abdon meminta para pemuda untuk meningkatkan jumlah anggota BPAN yang kini berjumlah 790 orang, mengembangkan jaringan secara luas, dan merancang program-program yang dapat menarik dan dinikmati sesama pemuda adat.

Abdon juga mengingatkan para pemuda adat mengenai sumber daya yang tersedia bagi mereka, termasuk pengetahuan, komunikasi, dan jaringan yang terbentuk dari komunitas mereka hingga ke tingkat nasional dan internasional yang dapat diandalkan demi pergerakan masyarakat adat di Indonesia. “Semoga pertemuan ini sukses membangun BPAN yang lebih besar dan kuat,” tutur Abdon.

Rakenas ini, dengan fokus untuk menata dan memperkuat organisasi untuk pembelaan, perlindungan, dan pelayanan terhadap masyarakat adat dan anggota BPAN, dimulai dengan laporan perkembangan organisasi dan implementasi program oleh Ketua BPAN Simon Pabaras.

Para ketua pengurus wilayah dan daerah BPAN juga menyampaikan laporan perkembangan aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan di komunitas masing-masing. Pengurus Wilayah BPAN Maluku Utara dan Sulawesi Tengah serta Pengurus Daerah BPAN Indragiri Hulu, Balangan, Sekatak, dan Kutai Barat tidak menghadiri rakernas ini.

Sejak dibentuk pada Januari 2012, BPAN telah melakukan banyak aktivitas, termasuk memobilisasi dukungan terhadap sejumlah aksi kolektif dan memfasilitasi penyebaran informasi terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 di komunitas mereka masing-masing. Program pemuda adat juga telah mendapatkan pelatihan pengembangan kapasitas, di antaranya tentang public speaking, investigasi, jurnalisme warga, respon darurat, dan advokasi hak-hak masyarakat adat.

Pada hari kedua rakernas, para pemimpin muda ini merancang anggaran rumah tangga BPAN dan program kerja dua tahun ke depan. Terlihat keinginan nyata BPAN untuk mengembangkan organisasi dan merekrut lebih banyak anggota, meningkatkan pengetahuan dan kapasitas para kader, serta memperbesar keterlibatan dengan media dan pendokumentasian sejarah komunitas adat mereka masing-masing.

Aktivitas hari kedua ditutup dengan rancangan pernyataan para pemuda adat untuk menyikapi berbagai masalah dan isu yang mempengaruhi masyarakat adat, termasuk perubahan iklim dan program REDD+. “Pertemuan ini sukses. Kami tak sabar melaksanakan agenda 2014 dan 2015 kami,” kata Simon.

Parlementaria: Menghimbau Gali Budaya Talang Mamak

$
0
0

Parlementaria (majalah DPR RI) edisi 107 TH.XLIII, 2013 menyertakan surat dari patih masyarakat adat Talang Mamak di Sembilan Batin, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Provisi Riau yang melaporkan bahwa Talang Mamak telah berubah akibat banyak persoalan yang terjadi dan mengancam berbagai aspek masyarakat, termasuk ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan politik.

 

Utusan Masyarakat Adat Nusantara Belajar Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bali

$
0
0

Kiadan, Plaga – Bali 28 -11- 2013- “Budaya adalah ruh yang membuat bangsa ini eksis hingga sekarang. Budaya itu adalah  gambaran sebuah kedaulatan, bangsa yang tidak menghargai kekayaan budayanya adalah bangsa yang tidak memiliki harga diri,” demikian disampaikan Bapak Harry Waluyo, Dirjen Ekonomi Kreatif bidang Media, Disain, Pengetahuan dan Teknologi mewakili Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam sambutannya pada pembukaan Workshop dan Pelatihan “Pengembangan Terpadu Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Berbasis Keragaman Budaya untuk Mewujudkan Peradaban Manusia Indonesia yang Kreatif, Inovatif dan Produktif”di Banjar Kiadan, Desa Adat Plaga, Bali tanggal 28 Nopember 2013 lalu di hadapan perwakilan masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara.

Ekonomi & Budaya

Pembangunan berbasis keragaman budaya di Indonesia adalah suatu keharusan dan tentu saja penuh tantangan. Jumlah Masyarakat Adat di Indonesia masih cukup besar, diperkirakan berkisar antara 50 hingga 70-an juta jiwa, umumnya bermukim di wilayah-wilayah yang masih alami. Masyarakat Adat hidup dengan falsafah dan seni budayanya yang unik sekaligus mewarisi nilai-nilai kearifan lokal yakni warisan dari para leluhurnya. Mereka dibekali pengetahuan bagaimana cara menjaga keseimbangan alam agar tetap lestari secara turun-temurun. Masing-masing komunitas adat juga memiliki seni tradisinya yang khas, seperti seni musik, tari, rupa, seni pertunjukan, hingga upacara ritual terhadap alam semesta sebagai tanda syukur pada Sang Maha Pencipta. Untuk menghadapi tantangan itulah maka Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersepakat dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk bekerjasama di masa depan yang diawali dengan kegiatan yang akan berlangsung selama 6 hari ini.

Pada kesempatan yang sama Sekjen AMAN Bapak Abdon Nababan dalam sambutannya mengatakan,” setiap masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan yang unik, berbeda satu sama lain”. Dia menambahkan bahwa “Indonesia memiliki paling sedikit 1128 suku bangsa yang masing-masing memiliki sistem nilai dan pengetahuan yang khas.

Sistem ini merupakan kumpulan dari hak kekayaan intelektual yang terus menerus memproduksi inovasi dan kreatifitas merespon berbagai kebutuhan dan dinamika hidup bersama, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri seluruh warganya maupun memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya. Masyarakat adat itu dinamis tetapi melalui beragam pranata adat yang mereka warisi dan kembangkan itu mereka mengendalikan perubahan agar tidak merusak diri kehidupan mereka dan lingkungan sekitarnya”.

Budaya Berbasis Masyarakat Adat  

Dia juga menambahkan bahwa Bali adalah contoh nyata pariwisata dan ekonomi kreatif yang berbasis pada masyarakat adat. Untuk belajar dari pengalaman nyata inilah maka kegiatan ini dilakukan di Banjar Kiadan dan Desa Tenganan yang merupakan bagian dari Jaringan Ekowisata Desa (JED) yang difasilitasi pengembangannya selama ini oleh Yayasan Wisnu. Proses belajar selama 6 hari akan difasilitasi dan didampingi terus-menerus oleh Rizaldi Siagian, I Gede Astanjaya dan Mahir Takaka.

“Saya ingin suatu saat kekuatan budaya di Bali ini bisa menular ke Tano Batak, ke Toraya, ke Kalimantan, ke Raja Ampat di Papua dan Masyarakat Adat lainnya di seluruh Nusantara. Budaya kita budaya berbagi, the culture of sharing, kebersamaan, berbeda dengan budaya dominan saat ini, the culture of owning, budaya memiliki, individualisme.

“Kita harus mengembangkan pariwisata dan industri kreatif sebagai media untuk berbagi kekayaan budaya”, tegas Sekjen AMAN.
Para peserta yang berjumlah 19 orang ini diharapkan bisa menyerap hasil lokakarya dan pelatihan ini untuk diterapkan dan dikembangkan di wilayahnya masing-masing. Ada 2253 komunitas masyarakat adat yang bergabung di AMAN dan bisa mendapat manfaat dari program ini secara langsung.

Mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif bagi kalangan masyarakat adat merupakan salah satu pilihan terbaik saat ini dan untuk masa depan Indonesia yang lebih aman, adil dan berkelanjutan. Dengan tetap menjaga serta melestarikan budaya, kita tetap bisa membangun ekonomi secara mandiri.
*** Surti

Konferensi Regional “The World Association of Community Radio Broadcasters (AMARC) Asia-Pasific ke-III”

$
0
0

Seoul 5 Desember 2013. Konferensi Regional The World Association of Community Radio Broadcasters (AMARC) ke-III yang dilaksanakan pada tanggal 2-5 Desember 2013 lalu di Seoul-Korea Selatan, diikuti peserta sebanyak 103 pegiat radio komunitas dari berbagai negara,  Australia, Afghanistan, Argentina, Bangladesh, Butan, Kamboja, Canada, Philipina, Chili, China, Fiji, Perancis, India, Indonesia, Jepang, Myanmar, Nepal, Solomon Island, Afrika Selatan, Korea Selatan, Swedia, Switzerland, Thailand dan Timor Leste.

Tema yang diambil pada konfrensi ke-tiga tahun ini adalah:
Radio, Hak-hak dan Pengakuan : Radio Komunitas untuk pemberdayaan masyarakat.

Dalam konferensi ini para pegiat radio komunitas saling berbagi pengalaman dalam pengelolaan radio komunitas di wilayahnya  masing-masing. Selain membahas tentang advokasi undang-undang penyiaran, area jangkauan untuk radio komunitas, peningkatan kapasitas dan peran perempuan dalam radio komunitas, dibahas juga tentang gerakan masyarakat adat dalam radio komunitas khususnya hak-hak masyarakat adat. Ada enam negara wakil dari radio komunitas masyarakat adat ikut berperan dalam konferensi tahun ini, yaitu dari Indonesia, Pilipina, Kamboja, Australia, Nepal dan Chili.

Isu tentang masyarakat adat semakin menarik bagi pegiat rakom dari negara lain, karena dalam pembahasannya, pegiat radio komunitas yang bergerak pada isu masyarakat adat mengharapkan agar dalam struktur dan program AMAR, ada keterwakilan dari radio komunitas masyarakat adat.

Untuk itu, pegiat radio komunitas masyarakat adat membuat resolusi dan berharap agar presiden AMARC yang terpilih nantinya dapat memperhatikan poin-poin yang dituangkan dalam Resolution for  Indigenous Peoples (IP) Radio Representative to AMARC-AP ( ResolusiKeterwakilan Radio MasyarakatAdatdalam AMARC-AP)

Resolution for  Indigenous Peoples (IP) Radio Representative to AMARC-AP

Whereas;

  • Indigenous Peoples’  (IP) radio play important role in the assertion of IP rights; in the promotion of  IPculture and in the preservation of  IP languages ;
  • IP radio is a channel for free, informed and prior consent (FPIC) and other similar mechanisms for decision making on projects and programs that affects IP communities ;
  • IP radio serves as a forum on climate change and the role of IP communities  as stewards of Mother Earth;
  • IP radio celebrates IP music and oral tradition/literature;
  • IP women and elders  are engaged in the management and operation of community radio; and
  • IP radio in Asia- Pacific  enhance the diversity   of  Community Radio  in Asia –Pacific;

Resolve therefore for AMARC-AP to create a position and mechanism for the representation of IP Radio in the AMARC-AP structure ; and resolve further  to support and  coordinate projects and programs that seeks to expand and strengthen IP radio in Asia and the Pacific Region.

Endorsed by                                                             Seconded by:

Mary Carling                                                            RadyoSagada, Philippines

Pertemuan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara

$
0
0

Diharapakan PPMAN ikut ambil bagian dalam perubahan paradigma

Jakarta, 25 November 2013. Setelah Konferensi Nasional Advokat Masyarakat Adat Se-Nusantara (KNAMAN) ke-I berlangsung di Tanah Luwu Sulawesi Selatan 26 September 2013 lalu, untuk pertama kalinya anggota Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengadakan pertemuan penting di Gren Alia Cikini, Jakarta Pusat.
Pertemuan pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang diketuai oleh Mualimin Pardi, SH dalam rangka membahas berbagai keputusan yang harus dioperasionalkan dari KNAMAN, misalnya Statuta dan Program Kerja. Statuta dan Program Kerja ini penting dijabarkan secara lebih teknis sehingga PPMAN dapat segera aktif melaksanakan agenda-agendanya untuk membela, melindungi dan melayani komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Nusantara.

Pertemuan dibuka oleh Arifin Saleh sebagai Deputi I PB AMAN Urusan Pengembangan Organisasi, Kaderisasi dan Penggalangan Sumber Daya. Sekjen AMAN, Abdon Nababan yang juga hadir dalam pertemuan tersebut, mengatakan bahwa terbentuknya PPMAN sebagai salah satu Sayap Organisasi AMAN, diharapkan bisa membawa kemajuan dalam urusan-urusan pembelaan komunitas-komunitas yang berkonflik dengan pihak luar dan dalam pemajuan hak-hak Masyarakat Adat. Abdon berharap PPMAN ikut ambil bagian dalam perubahan paradigma yang digerakkan oleh para Sarjana Hukum di kampus-kampus, Lawfirm, maupun pada pemerintahan, ke arah yang lebih positif.

“Dalam beberapa tahun terakhir, sangat banyak kasus-kasus konflik dialami oleh Masyarakat Adat di berbagai tempat wilayah adat. Banyak komunitas yang ditangkap dan dipenjarakan karena mempertahan tanah dan wilayah mereka. PPMAN ini diharapkan dapat membantu pembelaan mereka di dalam dan di luar pengadilan” ujar Mina Susana Setra, Deputi II Sekjend AMAN Urusan Advokasi, Hukum dan Politik yang memfasilitasi pembentukan PPMAN ini.

PPMAN beranggotakan 29 orang Advokat dan Ahli Hukum yang siap mendukung pembelaan Masyarakat Adat di Nusantara. “PPMAN mengharapkan ke depannya, makin banyak Advokat dan Ahli Hukum yang bergabung dengan PPMAN,” ujar Ketua PPMAN, Mualimin Pardi.

Semoga ke depan, kasus-kasus konflik yang dialami oleh komunitas Masyarakat Adat dapat tertangani dengan lebih efektif. ***Monica

NHM Dapat Konsesi, Masyarakat Adat Kehilangan Mata Pencaharian.

$
0
0

Akibat pencemaran limbah perusahaan

Malifut 10 Des 2013- Sejak PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) beroperasi, masyarakat mulai kehilangan sumber ekonomi mereka. Perusahan yang berada di wilayah tanah adat Hoana Pagu, Malifut, Halmahera Utara ini terus menebarkan dampak buruk kepada masyarakat adat setempat. Ikan teri yang menjadi primadona, hilang serentak di laut. Hewan buruan mulai jarang didapat, krisis air bersih karena pencemaran pada air sungai yang biasa digunakan warga, hutan adat pun dikuasai perusahaan.

PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang beroperasi di Malifut, Halmahera Utara ini terus menjarah kekayaan sumberdaya alam terutama emas yang terkandung di wilayah tanah adat Hoana Pagu. Sementara masyarakatnya semakin miskin karena akses mereka terhadap tanah, hutan dan laut terputus.

Satu demi satu sumber pendapatan ekonomi masyarakat hilang. Masyarakat kini menjadi penambang batu, sebagian lagi menjadi penambang emas yang dilakukan secara illegal di lokasi perusahan. Alasannya untuk mencari uang buat biaya anak mereka yang sekolah. Tak ada cara lain selain jalan ini yang ditempuh meski dengan resiko tertangkap polisi yang berjaga di Open Pit.  Mereka yang melaut harus mengeluarkan uang ratusan ribu setiap kali melaut, sementara ikan hasil tangkapan hanya bisa untuk makan sehari-hari.

Kapala Desa Balisosang, Frangkin Namotemo, mengungkapkan sejak NHM hadir, mereka semakin sulit mengambil kerang dan ikan di Sungai Kobok, karena sungai juga ikut tercemar. Bahkan tanaman mereka di sekitar sungai pun tidak lagi produktif. ”Kehidupan kami setiap hari makin susah dengan hadirnya perusahan ini,” kata beliau.
Masyarakat adat Pagu semakin kesulitan mengakses sumber-sumber penghidupan mereka. ”Kehadiran perusahan NHM ini banyak mendatangkan masalah, mulai dari ikan teri hilang dari Teluk Kao, sampai hewan buruan seperti rusa dan babi juga semakin sulit didapat.

Warga bahkan harus berbulan-bulan masuk hutan baru bisa dapat hewan buruan yang mereka cari”. Ungkap Masri Kepala  Biro Advokasi AMAN Malut. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa sebelum NHM datang masyarakat mudah mendapatkan udang laut dari Teluk Kao. Mereka mengolahnya menjadi terasi lalu dijual untuk tambahan ekonomi. Namun udangpun kini sudah sulit untuk didapat. Warga menjadi semakin miskin bahkan juga kesulitan air bersih.

Bagi warga yang berkebun di pinggiran Sungai Kobok sering mengalami gagal panen. Hasil perkebunan mereka tidak lagi seperti dulu. NHM membawa masalah yang serius. Masri mengungkapkan masyarakat adat Pagu kini hidup miskin di atas tumpukan emas. Wilayah mereka kaya emas, tapi justru hidup mereka semakin susah. Kekayaan itu diambil oleh pihak lain lalu menimbulkan masalah yang saat ini dialami masyarakat.

Tahun 2016, izin Kontrak Karya NHM akan berakhir. AMAN mendesak pemerintah tidak lagi memberikan izin baru kepada NHM. Perusahan ini harus segera angkat kaki dari Maluku Utara****Ubaidi Abd. Halim*


Wakil Bupati Musi Banyuasin Berkomitmen Untuk Memberikan Keadilan Bagi Masyarakat Adat

$
0
0

Muswil II AMAN Sumatera Selatan

Musi Banyuasin 11 Desember 2013. Tabuhan rebana dan lantunan  nyanyian penyambutan berkumandang ketika Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan dan Wakil Bupati Musi Banyuasin,  Beni Hernedi turun dari mobil memasuki lokasi Muswil II AMAN Sumsel yang dilaksanakan  tanggal 11 Desember 2013 di Marga Tunggal Ulu, Kecamatan Tungkal Jaya, Kabupaten Musi Banyuasin.

Para tetua adat yang juga adalah pendiri AMAN meyambut rombongan dan mempersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan, diiringi senjang (puisi dalam bentuk pantun),” dari sekayu ke simpang tungkal, lewati supat dan peninggalan, selamat datang kami ucapkan pada pak Beni dan Abdon Nababan”. Setelah sekjen dan wakil bupati duduk di tempat, para penari stabek mengambil posisi dan membawa tanjak (semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket) untuk dikenakan kepada Sekjen AMAN dan wakil bupati. Tanjak dipasangkan oleh tetua adat utusan dari marga Dawas.

Alur acara disampaikan oleh pembawa acara antara lain menyajikan lagu Indonesia Raya, penyampaian laporan Ketua Panitia Pelaksana Muswil AMAN Sumsel II , sambutan tetua adat Tungkal Ulu , sambutan Ketua BPH AMAN Wilayah Sumsel, sambutan dari sekjen AMAN dan terakhir adalah sambutan wakil bupati sekaligus membuka Muswil AMAN SUMSELke-II.

Sekjen AMAN menyampaikan sambutannya di hadapan lebih dari 300-an orang  utusan warga adat dan tamu undangan, bahwa Masyarakat Adat telah diakui dalam konstitusi. Penegasan yang berpihak terhadap masyarakat adat ini pelan-pelan mulai   diwujudkan. Salah satunya adalah keluarnya  Putusan MK 35 yang telah mengeluarkan antara hutan negara dengan hutan adat. Sekarang ada Wakil Bupati Musi Banyuasin hadir pada muswil ini dan kita minta agar beliau berkomitmen untuk menindaklanjuti Putusan MK 35.

Setelah tarian mare-mare, mengisahkan tentang seseorang yang sudah lama pacaran  namun tak kunjung juga berjodoh. Tarian ini sebagai penghantar wakil bupati meyampaikan sambutannya sekaligus membuka Muswil II AMAN Sumsel.

Inti dari sambutan wakil bupati, sudah ada tanda-tanda bahwa zaman ini untuk  masyarakat adat. Masyarakat adat harus diakui dan dilindungi hak-haknya karena sudah jelas dengan adanyanya Putusan MK nomor 35.

Masyarakat adat harus mendapatkan keadilan, saya dan Bupati Musi Banyuasin sudah berkomitmen untuk menurunkan angka kemiskinan di kabupaten yang kami pimpin selama lima tahun.

Pada akhir acara pembukaan Muswil II AMAN Sumsel, Wakil Bupati Musi Banyuasin mendukung Petisi 35 yang digalang oleh AMAN untuk menindak lanjuti pelaksanaan Putusan MK 35 serta percepatan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.*** Monang Arifin Saleh.

Masyarakat Adat Menentang WTO

$
0
0

Masyarakat Adat Menentang WTO

Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) bersama dengan Cordillera Peoples Alliance (CPA), International Organisation for Self-Determination and Equality (IOSDE), dan Asia-Pacific Indigenous Youth Network (APIYN) menggelar aksi protes untuk menentang perdagangan yang lebih bebas di bawah kesepakatan-kesepatan baru World Trade Organization (WTO).

Protes ini menutup lokakarya dan diskusi pleno empat hari yang dihadiri oleh kelompok-kelompok gerakan sosial dan masyarakat sipil. Lokakarya dan diskusi pleno ini berlangsung di saat para menteri dan pejabat perdagangan 159 negara-negara anggota WTO menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali.

Lokakarya dan Diskusi Pleno
Pekan itu dimulai dengan lokakarya internal bertema “Masyarakat Adat dan WTO: Menentang Globalisasi, Menentukan Nasib Sendiri.” Para peserta dan pembicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), BPAN, CPA, IOSDE, APIYN, Indigenous Environment Network (IEN), Indigenous Peoples Movement for Self Determination and Liberation (IPMSDL), dan Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (COINE).

Presentasi pertama disampaikan oleh Sekretaris Jenderal CPA Abigail Anongos, memaparkan tentang konteks sejarah yang dimulai dari imperialisme kolonial hingga ke sistem kapitalis yang menciptakan globalisasi ekonomi sekarang ini. Disintegrasi batas-batas nasional dan kemunculan pasar kapitalis global karena globalisasi ekonomi mempengaruhi masyarakat yang paling miskin dan terpinggirkan di negara-negara maju dan berkembang. Pengaruh-pengaruh itu dirasakan oleh masyarakat adat di berbagai penjuru bumi di dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

“Globalisasi telah mengancam pengetahuan tradisional akibat hak paten atas tanaman-tanaman dan benih-benih tradisional yang dipelihara masyarakat adat untuk makanan dan obat-obatan,” kata Abigail. Industri-industri dan proyek-proyek ekstraktif, seperti bendungan, pertambangan, proyek-proyek energi, telah menyebabkan pelanggaran hak asasi dan kehilangan penghidupan. “Negara-negara kita telah menjadi sumber perampasan,” katanya.

Beberapa pembicara di lokakarya tersebut adalah India Reed Bowers dari ISODE, Norma Capuyan dari Cordillera, Tom Goldtooth dari IEN, Marlon Santi dari COINE, Mina Susana Setra dari AMAN, dan Julius Daguitan dari APIYN. Mereka menyampaikan pemahaman mengenai konsekuensi globalisasi dan pertumbuhan kapitalis di Sapmi (Swedia), masyarakat Mindanou (Filipina), masyarakat adat Turtle Island (Amerika Utara), masyarakat adat di Ekuador, dan Indonesia serta kalangan pemuda adat.

Lokakarya itu menegaskan bahwa masyarakat adat di mana pun harus terlibat dalam debat ini. “Kita adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk melawan globalisasi neoliberal dan imperialisme,” kata Abigail. Mengacu kepada hak masyarakat adat untuk menentukan pembangunan sendiri, dia menyatakan, “Tidak ada satu pun yang tentang masyarakat adat yang tidak melibatkan masyarakat adat.”

Kemah Rakyat Sedunia
Pada hari kedua dan ketiga, para peserta berkumpul di Peoples’ Global Camp (Kemah Rakyat Sedunia) di GOR Lila Buana, Denpasar. Mereka bergabung dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, para juru kampanye antiglobalisasi, kelompok-kelompok mahasiswa, kelompok-kelompok perempuan, dan serikat-serikat kerja dari berbagai penjuru Indonesia dan luar negeri untuk menghadiri diskusi pleno dan lokakarya-lokakarya sektoral tematik. Lokakarya-lokakarya ini mencakup beragam hal dan masyarakat yang dipengaruhi oleh perdagangan yang lebih bebas, termasuk kedaulatan pangan, pekerja migran dan migrasi, serta masyarakat adat.

Pada sore hari ketiga di Kemah Rakyat Sedunia, Ketua BPAN Simon Pabaras membacakan Deklarasi Masyarakat Adat “Menentang Globalisasi, Menentukan Nasib Sendiri.” Di saat bersamaan, Abigail Anongos menyampaikan deklarasi tersebut kepada para pejabat di Pertemuan Tingkat Menteri WTO di Nusa Dua.

Hari terakhir ditandai dengan finalisasi deklarasi Kemah Rakyat Sedunia “Pembangunan Berkeadilan Sekarang! Bubarkan WTO!” Deklarasi dua halaman itu mencantumkan kekhawatiran-kekhawatiran seluruh kelompok yang hadir – petani, perempuan, mahasiswa, pekerja, dan masyarakat adat – dari sekitar 20 halaman, termasuk Australia, Bangladesh, Indonesia, Jerman, dan Swedia.

Kemah Rakyat Sedunia ditutup dengan aksi protes damai ratusan peserta yang berjalan kaki menuju Konsulat Amerika Serikat pada sore yang panas itu.

WTO Setujui Kesepakatan Perdagangan Internasional
Pertemuan Tingkat Menteri WTO yang diadakan pada 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua dianggap sebagai titik penentu. Diskusi-diskusi berlanjut hingga tambahan satu hari dan sebuah kesepakatan reformasi perdagangan dunia dicapai dan diumumkan pada Minggu (8/12). Ini adalah kesepakatan perdagangan global pertama sejak WTO dibentuk pada 1995. Pertemuan-pertemuan WTO sebelumnya gagal menghadirkan hasil yang pasti.

Hasil pertemuan tingkat menteri ini, dinamai Paket Bali, fokus pada pemudahan perdagangan agar lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah serta pada isu-isu terkait pembangunan, termasuk agrikultur dan akses ke kapas.

Organisasi-organisasi yang menghadiri Kemah Rakyat Sedunia telah mengemukakan kekhawatiran-kekhawatiran bahwa Paket Bali akan semakin menghilangkan penghalang-penghalang liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi, yang menyebabkan pembangunan ekonomi tanpa kekangan yang akan melanjutkan eksploitasi sumber daya alam dan manusia tanpa pertimbangan-pertimbangan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kemah Rakyat Sedunia meminta perdagangan dan pembangunan berkelanjutan demi mayarakat dan lingkungan hidup.

Kerja sama AMAN Dengan DPRD Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara

$
0
0

Penyerahan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Tentang Kelembagaan Adat dan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Lahan Pertaniaan Pangan Masyarakat

Jakarta 14 Desember 2013 – Pada awalnya saya agak khawatir, walaupun thema pokok Perda ini sangat kita butuhkan, tetapi bagaimana menyusunnya menjadi dua produk hukum yang mengikat semua pihak, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan adat itu bukanlah persoalan yang mudah. Menyelesaikan persoalan masyarakat adat merupakan tantangan baru, sehingga referensi kawan-kawan untuk mengerjakannya sangat terbatas, kata Ketua DPRD Kabupaten Malinau, Pdt Martin Labodalam sambutannya pada penyerahan dua Draf Rancangan Perda Kabupaten Malinau yaitu Tentang Perlindungan Kelembangaan Adat dan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Masyarakat Adat, tanggal 13 Desember di Hotel Red Top Jakarta.

Secara pribadi maupun sebagai Ketua Forum Masyarakat Adat dan sebagai Ketua DPRD saya menyambut gembira, akhirnya dapat kita selesaikan tepat waktu. Saya juga mendengar komentar teman-teman, terutama eksekutif, mereka merasa bangga dengan apa yang kita hasilkan. Mudah mudahan ini memberi sinyal Perda ini bisa kita tetapkan pada tanggal 18 Desember nanti,” lanjut Martin Labo.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada teman-teman AMAN yang sejak awal tanpa banyak basa-basi bersedia menerima tugas, menurut saya ini juga bukan tugas yang mudah. Karena merasa tertantang oleh panggilan, maka teman-teman menerima tugas ini dengan segala kesulitannya. Saya menghargai kerja keras kawan-kawan AMAN dengan hasil yang kita persembahkan sebagai hasil karya bersama,” ujar Martin Labo.

Martin Libo mengharapkan agar nantinya rancangan peraturan daerah ini bisa menjadi sumbangan yang khas sebagai upaya untuk mengakui, menghargai keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sebagai sebuah komunitas yang menjadi fundamen berdirinya NKRI. Dengan memberikan pengakuan dan perlindungan kita sebetulnya memperkokoh pilar berdirinya Negara Indonesia ini.

Kita berusaha melakukan perubahan-perubahan kecil dari halaman rumah kita sendiri mudah-mudahan itu menjalar ke halaman rumah tetangga dan pada akhirnya melebar ke seluruh Nusantara,” ujar Martin Libo menutup sambutannya

Sekertaris Jenderal AMAN Abdon Nababan yang juga adalah Ketua Tim konsultan Hukum penyusunan Perda Malinau dalam sambutannya menyampaikan keyakinannya bahwa hal-hal yang disampaikan itu akan berguna dalam pembahasan lebih lanjut, meski belum disahkan.

Jika berbicara mengenai rasa khawatir saya juga sering mengalami itu khususnya saat membicarakan masyarakat adat.

Ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid-Gus Dur, penugasan pertama kepada saya bersama beberapa teman-teman membentuk Kementerian Eksplorasi Laut dan Perikanan yang di dalammnya ada hak-hak masyarakat adat yang harus menjadi pilar. Pada saat itu saya juga khawatir, saya tahu tidak mau bikin apa, karena itu menyangkut sesuatu yang luar biasa.

Pak Sarwono yang kemudian jadi menteri pertamanya, meminta saya membuat panitia pengarah penyusunan RUU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian disahkan menjadi UU No 27 tahun 2007. Sama halnya ketika kami mendorong RUU Masyarakat Adat di DPR, tiba-tiba Badan Legislasi dalam kesimpulan akhirnya bilang,” kami mempersilahkan AMAN saja menyiapkan rancangan undang-undang, saya lebih khawatir lagi,” papar Abdon Nababan. Tapi kami berusaha untuk mencoba memahami,merancang,mempelajari dan mendalami masalah itu dengan para ahli. Dalam membuat RUU Masyarakat Adat bukan hanya kami saja yang terlibat, dibalik ini semua itu ada banyak kawan-kawan para ahli dan LSMlainnya

Terus datang lagi penugasan dari Pak Martin, kekhawatir itu berkelanjutan namun menambah semangat kami untuk terus belajar dan mendalami masalah ini. Dalam program legislasi nasional saya sudah belajar banyak, tapi begitu masuk legislasi daerah panik juga dan ternyata beda.

Kekhawatiran kami itu kemudian terjawab oleh antusisme pihak-pihak lain mendiskusikan isi dari RanPerda yang kami usahakan. Mudah-mudahan kerjasama kita ini bisa menginspirasi daerah-daerah lain,” ujar Sekjen AMAN menutup sambutannya.

Acara ditutup dengan penyerahan cendiramata AMAN kepada Ketua DPRD dan anggota DPRD Kabupaten Malinau. ***Yuli Fransiska.

Rilis Pers: AMAN Serahkan Dua Ranperda Malinau

$
0
0

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyerahkan dua rancangan peraturan daerah (ranperda) kepada DPRD Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Jumat (13/12). Kedua ranperda Kabupaten Malinau itu adalah tentang perlindungan lahan pertanian pangan masyarakat adat dan tentang kelembagaan adat.

Penyerahan ranperda ini melanjutkan nota kesepahaman AMAN dan DPRD Kabupaten Malinau yang ditandatangani pada 8 Februari 2013. Pada 3 Oktober 2012, Malinau telah mengesahkan Peraturan Daeran No. 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau. “Dengan memberi pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat, kita memberi pilar kepada Negara ini,” kata Ketua DPRD Malinau Martin Labo.

Martin mengharapkan perda dan ranperda ini dapat menjadi teladan. “Kita memberi perubahan baik di halaman sendiri. Semoga melebar ke halaman-halaman tetangga dan selanjutnya ke halaman-halaman lain di nusantara,” katanya di hadapan para anggota DPRD Malinau dan perwakilan Pengurus Besar AMAN.

Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan bertutur senada. “Kerja sama ini semoga bisa menginspirasi daerah-daerah lain. Mudah-mudahan ranperda ini dapat membawa Kabupaten Malinau, khususnya masyarakat adat, menjadi lebih makmur, diperlakukan dengan adil, dan damai,” kata Abdon.

“Keberadaan perda tentang perlindungan lahan pertanian pangan masyarakat adat penting di Kabupaten Malinau dengan pertimbangan bahwa pembangunan di berbagai sektor di Malinau ternyata juga menimbulkan konsekuensi berupa konflik lahan, termasuk lahan pertanian pangan, sehingga harus disikapi sedini mungkin,” kata Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi.

Sedangkan perda kelembagaan adat tidak lepas dari perannya yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat di Malinau. “Walau lembaga adat telah mengalami tekanan akibat penyeragaman sistem pemerintahan sebagaimana diatur oleh UU Desa, lembaga adat di Malinau masih bertahan dan tetap menjalankan pemerintahan adat,” jelas Erasmus.

Di tingkat nasional, pada Mei 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menunjuk empat kementerian, yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai wakil Pemerintah dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.

FGD-Strategi Gerakan Politik Masyarakat Adat Pada Pemilu 2014

$
0
0

Gerakan Politik Masyarakat Adat 2014

“Suara ril di lapangan seringkali bukan menjadi hasil akhir”

Jakarta 15 Desember 2013- Pelaksanaan Pemilu tahun 2014 semakin dekat, semua partai politik bersiap diri menyongsong pesta demokrasi tersebut. Bermacam cara dilakukan para kader partai, yang paling populer dan banyak peminatnya adalah kader berorientasi pada kekuasaan dengan biaya mahal.

“Kongres AMAN 2012 sudah memutuskan agar mendorong memfasilitasi kader-kader politiknya. Jika Ormas seperti AMAN bisa memenangkan satu atau dua tiga kursi dengan konsep struktur organisasinya baik, anggotanya terkonsolidasi, itu harus kita dukung. Contohnya kader Sulsel, Mahir Takaka maju sebagai Caleg untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan biaya murah, karena di sana pengurus daerahnya cukup besar. Dengan menggerakkan 11 pengurus daerah dan komunitas anggota bisa memenangkan Mahir Takaka jadi anggota DPD, itu yang sedang kita uji,” papar Sekjen AMAN Abdon Nababan saat membahas strategi politik masyarakat adat dalam Pemilu 2014 di Hotel Ibis bilangan Kebon Sirih Jakarta 14 Desember 2013.

Bagi AMAN Pemilu legistatif dan pemilihan presiden 2014 bukan perebutan kekuasaan semata, tapi ke arah mana AMAN akan melangkah. “Kita sudah tahu, tanpa berpolitik tidak mungkin mempengaruhi kebijakan publik, karena pemahaman kita tidak akan ada perubahan sistematik di dalam lingkungan publik kalau publik itu tidak terorganisir di dalam kekuatan politik.

Advokasi kebijakan AMAN diterima semua pihak, lalu bagaimana kader AMAN bisa duduk dalam kekuasaan di berbagai tingkatan dan masih punya kesadaran serta tanggung jawab pada komunitasnya. Dalam diskusi ini diharapkan munculnya ide yang layak untuk diperiksa, bagaimana kondisi ril saat ini, menggali langkah-langkah, gagasan-gagasan, strategi serta informasi terkini baik dari dalam maupun dari luar. Bagaimana menemukan tempat yang pas jika kader AMAN masuk arena politik. Mendorong strategi AMAN itu mungkin tidak dengan format yang biasa, bisa jadi dengan dengan terobosan tertentu misalnya,” harap Sekjen AMAN mengakhiri sambutannya.

Deputi I Monang Arifin Saleh menggaris bawahi bahwa hasil diskusi ini akan menjadi pegangan yang kuat bagaimana kader AMAN berpolitik, tidak hanya untuk tahun 2014, tapi untuk selanjutnya.

Menurut Don Marut sebagai pemandu diskusi menyampaikan bahwa suara ril di lapangan seringkali bukan menjadi hasil akhir. Sementara Isjaya Kaladen menyampaikan pengalamannya saat mencalon diri untuk kedua kalinya, berhadapan dengan banyak kepentingan, masalah materi dan permainan politik partai yang sulit sekali dicerna serta tidak masuk akal sehat. Pada sisi lain Lerry Mboeik menyampaikan bahwa salah satu yang harus dicermati justru politik transaksional para incumbent.  Rangkaian acara dilanjutkan Pertemuan Konsolidasi Politik tanggal 16-17 Desember 2013.***JLG

Temenggung Adat Segaru Ketungau Hilir Kalbar Mohon Dukungan dan Kepastian Pemerintah

$
0
0

Temenggung Adat Segaru Ketungau Hilir Kalbar

Jakarta 14 Desember 2013. Rumah Pengurus Besar Aliansi Masyarakat kedatangan tamu penting dari Ketungau Sintang, Temenggung Wilman bersama 3 orang temannya membawa tumpukan kasus sengketa dengan perusahaan sawit dan aktivitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) pada tanggal 9 Desember 2013 lalu. Mereka baru saja mengirimkan surat pada Gubernur Kalimantan Barat dengan tembusan ke beberapa Menteri dan Sekjen AMAN.

Menurut informasi yang disampaikan oleh Temenggung Wilman, mereka sedang menggugat kewenangan Inspektur Perkebunan Kelapa Sawit, terkait dengan kekuasaannya atas wilayah adat di Pemkab Sintang, Pemkab Kapuas Hulu dan Pamkab Sanggau yang disebut Inspektur Perkebunan Kelapa Sawit sebagai bagian dari usaha pembangunan. Pada awal masuknya  perkebunan kelapa sawit masyarakat terpecah, sebagian masyarakat menolak, sebagian lagi mendukung.

“Sejak beberapa tahun silam sebenarnya tidak ada pembangunan yang bisa diharapkan, setelah perusahaan itu berjalan muncul lagi pro kontra antara sesama masyarakat. Jadi kami sebagai tokoh yang diharapkan menjadi penyambung lidah, langsung berkonsultasi dengan penguasa pemerintah daerah, mulai dari pemerintah desa, kecamatan sampai kabupaten. Namun usaha baik itu tidak ditanggapi secara positip, kemudian masalah semakin berkembang. Perusahaan memaksakan keadaan, lalu pemerintah main kuasa,” kata Temenggung memaparkan permasalahan.

Sengketa Tapal Batas dan Limbah   
“Sekarang mereka datang membuat peta batas wilayah, itu makin hancur lagi. Selain pro kontra atas hadirnya kelapa sawit ada juga sengketa batas wilayah. Persoalan mulai muncul dari skup yang paling besar sampai skup terkecil. Kami sebagai orang tua semakin tidak mampu, tapi bukan kami tidak berbuat, malah kami memberi petunjuk,” ujar beliau melanjutkan. “Tolong pemerintah daerah, janganlah buat cara seperti ini, karena selama ini tidak pernah masyarakat bersengketa soal tapal batas. Kenapa batas itu harus dibuat sedemikian rupa? selidik punya selidik ternyata Inspektur Perkebunan Sawit dengan Pemda ada main mata,” papar Temenggung Wilman. Ada 40-an perusahaan yang tidak pernah melakukan sosialisasi kepada kami secara terbuka.

Salah satu contoh, kalau kami minta mana analisis mengenai dampak lingkungannya yang dibuatkan dalam amdal? Dikatakan ada tapi tidak pernah ditunjukan. Demikian juga dengan Inspektur Perkebunan Kelapa Sawit, kalau kami bilang mana izin Anda? selalu tidak pernah ditunjukan. Dikatakan ada izin illegal, itu kami ndak ngerti. Tetapi yang kita tahu, dia belum ada izin tapi sudah bekerja.

Kemudian dari tahun ke tahun masalah semakin berkembang, saatnya kami menunggu tindakan Pemkab sebagai konsekwensi jabatan dan kedudukannya, ini saatnya mereka  memberi petunjuk dengan masyarakat. Kalau memang sawit itu punya izin, supaya dibina secara profesional. Sekarang terbukti, ternyata perusahaan sawit membuka lahan perkebunan sawit sambil mereka membabat hutan, kayunya entah ke mana dibawa.

Kami sudah tidak tahan lagi. Intinya sekarang lingkungan kami hancur, masyarakat sudah pro kontra. Kalau salah-salah membendung bisa jadi masalah besar, karena kami ini orang awam, kemampuan kami ini terbatas untuk membendung dampak negatif.

Tidak terkecuali Sintang, 14 kecamatan semua penuh dengan hamparan perkebunan sawit, tambah lagi Kapuas Hulu dan Kabupaten Sanggau. Perkebunan sawit itu setiap saat menggunakan racun kemudian membuang limbah mercuri ke Sungai Ketungau. Baik dari Kapuas Hulu maupun dari sebagian Kabupaten Sanggau ada dua sungai besar yang membawa limbah meluncur ke Sungai Ketungau. Dimanapun lahan yang didapat  perusahaan sawit berada, di sana kami berbatasan, karena kami berasal dari ujung barat tanah Borneo, Kalimantan Barat ini.

“Dulu kami dikenal sebagai masyarakat perbatasan mantan garis merah, sekarang kami sudah rentan, mohon minta ditangani secara serius oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,” ujar Temenggung penuh harap.*** JLG

Peringati Hari HAM, PD AMAN Massenrempulu Sosialisasi RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat

$
0
0

Peringatan Hari HAM

Kab. Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan, 10 Desember 2013 – Gerakan masyarakat adat se-Nusantara saat ini mendorong percepatan  pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyaraat Adat (PPHMA). Gerakan ini didukung sepenuhnya oleh komunitas-komunitas masyarakat anggota AMAN karena diyakini mampu menjawab kondisi-kondisi (kemiskinan, pelanggaran HAM, Konflik) yang terjadi  di tengah masyarakat adat di Indonesia.

“Adalah langkah maju, jika RUU ini disahkan menjadi Undang-undang, namun akan menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah Kabupaten Enrekang, karena identifikasi atau data mengenai masyarakat adat  Kabupaten Enrekang masih sangat minim” kata Chairul Tahir, SE (Wakil Ketua I, DPRD Kabupaten Enrekang) menyambut Sosialisasi RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat, yang  dihadiri Komisi III DPRD Kabupaten Enrekang, Pemerintah Kabupaten Enrekang, Pengurus Besar AMAN dan Pengurus Wilayah AMAN Sulsel pada tanggal 10 Desember 2013 lalu di Gedung DPRD Kabupaten Enrekang

Ketua BPH AMAN Massenrempulu, Paundanan Embong Bulan menyampaikan, bahwa di  Kabupaten Enrekang kini tercatat 19 komunitas adat yang masih mempertahankan sistem dan adat hukum adat. Sesuai dengan salah satu persyaratan dalam draf RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat yang sedang diproses oleh DPR RI. Paundanan menghimbau  Pemerintah Kabupaten Enrekang dan DPRD Kabupaten Enrekang ikut mendorong lahirnya PERDA ini di Kabupaten Enrekang”.

“Kalau Masyarakat Adat Kuat, NKRI akan semakin kokoh, tentunya dibutuhkan regulasi atau perundang-undangan yang memastikan pengakuan dan perlindungan atas Hak-Hak Masyarakat Adat Indonesia,” papar Mahir Takaka, Deputi III PB AMAN saat menyampaikan latar belakang, tujuan, proses analisis kritis serta substansi yang tertuang dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat tersebut.
Kesimpulan akhir pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Pengurus Daerah (PD) AMAN Massenrempulu ini sepakat bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) PPHMA harus segera disahkan, karena Undang-Undang ini diyakini merupakan jawaban atas ketidakpastian hukum masyarakat adat se-Nusantara yang harus diakui dan lindungi oleh negara sesuai Konstitusi Negara Republik Indonesia, tertuang dalam pasal 18 huruf (b) dan pasal 28 huruf (i) UUD 45.

Hal penting lainnya yang disepakati dalam pertemuan tersebut adalah kesepakatan untuk mendorong PERDA Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang, “kita tunggu dulu  apabila RUU ini sudah disahkan, baru kita mulai diskusi atau pertemuan yang lebih intensif untuk mendorong PERDA masyarakat adat di Kabupaten Enrekang,” seperti yang disampaikan bapak Chairul Tahir, SE (wakil Ketua DPRD Enrekang)

Dari tempat terpisah Muslimin Bando (Bupati Enrekang) dalam pertemuan silatuhmi Pengurus AMAN di rumah dinasnya merespon hasil-hasil kesepakatan di kantor DPRD Enrekang. “Untuk saat ini langkah cepat yang mesti kita lakukan adalah mendorong pengakuan atas etnis Massenrempulu kepada pihak-pihak luar. Apa saja yang mejadi simbol Massenrempulu sudah harus disepakati, seperti pakaian adat dan budaya-budaya lainnya.

Hal ini menjadi sangat penting, biarpun regulasinya sudah ada tapi pihak luar dan masyarakat di Massenrempulu tidak memahami eksistensi atau jati dirinya, itu akan menjadi sia-sia”, ungkap Muslimin Bando. (Armansyah Dore)


Pengurus Daerah Maros Resmi Terbentuk

$
0
0

Maros 14 Desember 2013 – Bertempat di Kec. Tompobulu, Desa Bonto Somba MUSDA I AMAN Kab. Maros berlangsung tanggal 13-14 Desember 2013. Di Kabupaten Maros terdapat 4 Komunitas yang telah menjadi anggota AMAN dan telah memenuhi syarat untuk membentuk 1 pengurus daerah AMAN.

Pembentukan Pengurus Daerah ini dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan organisasi terhadap anggotanya di komunitas-komunitas. Dalam Musda ini hadir Wakil Ketua DPRD Kab. Maros, Polres Maros, Dewan AMAN Wilayah dan unsur-unsur lainnya.

Acara Musda dimulai dengan dialog para pihak tentang Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Dialog tersebut dipandu oleh Sardi Razak dengan pembicara kunci Bapak Mahir Takaka, Deputi III PB AMAN.

Mahir Takaka menjelaskan dasar-dasar dari RUU-PPHMA baik landasan filosofis, historis dan yuridis. Penjelasan Deputi III PB AMAN ini disimak sepenuhnya oleh para peserta.

“Ini rancangan undang-undang yang sangat baik karena betul-betul berpihak kepada masyarakat jadi tidak ada alasan untuk menunda pengesahannya” ujar H. Rani utusan Komunitas Adat Pattontongan (calon anggota AMAN).

Hal senada juga diucapkan oleh H. Muh. Yakub, Dewan AMAN Wilayah Sulawesi Selatan, “RUU-PPHMA ini kita harapkan menjadi undang-undang payung nantinya, tidak seperti undang-undang masyarakat adat sekarang, bersifat sektoral”.

Lebih jauh Mahir Takaka menjelaskan tentang subtansi RUU-PPHMA yang saat ini masih didiskusikan oleh Balegnas karena terdapat perbedaan pandangan. “Ada beberapa poin masih menjadi bahan pendiskusian hangat dengan teman-teman Balegnas ,karena itu kita harus memastikan bahwa undang-undang ini nantinya mampu memberi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat” ujarnya. Dialog para pihak ini melahirkan beberapa rekomendasi antara lain mendesak  disahkannya RUU-PPHMA tersebut.

Setelah istirahat siang acara Musda dilanjutkan dengan penjelasan seputar
Musda yang disampaikan oleh Armansyah Dore selaku Kepala Biro I AMAN Sul-Sel.

“Yang terpenting dan akan kita lakukan bersama adalah pemahaman kita soal tugas-tugas dari Musda yang akan kita jalankan ke depan dan memastikan bahwa kita berjalan sesuai koridor dalam aturan-aturan organisasi, termasuk mekanisme dalam bermusyawarah”.

Kemudian acara pemilihan Dewan AMAN Daerah Maros dilaksanakan. Peserta Musda sepakat menunjuk 7 orang sebagai Dewan AMAN Maros dengan komposisi:

1.    H. Kr. Ngawin : Ketua
2.    Edi Hamzah : Wakil Ketua I
3.    Amirullah : Wakil Ketua II
4.    Kaharuddin :  Anggota
5.    Rusdi: Anggota
6.    Sumarni :   Anggota
7.    St. Aminah :  Anggota

Sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian terpilih Bapak Amirullah Rull.
Acara ditutup dengan pelantikan pengurus AMAN yang dipimpin oleh Bapak Mahir Takaka. ***Armansyah Dore

Rilis Pers: Konsolidasi Perjuangan Politik Masyarakat Adat

$
0
0

“Walau populasinya besar, masyarakat adat masih minoritas dalam konteks politik,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam acara Konsolidasi Perutusan Masyarakat Adat untuk Parlemen di Jakarta, Senin (16/12).

Konsolidasi ini bertujuan untuk mengusung agenda politik yang sama di antara para perwakilan politik masyarakat adat. Untuk pemilu 2014, sebanyak 180 kader politik masyarakat adat telah resmi terdaftar sebagai calon legislatif nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Mereka mencalonkan diri melalui jalur independen dan 13 partai politik.

Perjuangan dasar masyarakat adat kini memilih jalur politik karena menghindari kekerasan. “Fondasi negara ini adalah keberagaman. Kita tidak mau menjadi orang asing di negara kita sendiri. Kita mau melakukan perubahan lewat jalur kebijakan,” tambahnya.

Sebelum kemerdekaan, perlawanan masyarakat adalah terhadap hegemoni asing dan pemaksaan nilai-nilai yang berbeda dengan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Pascaproklamasi, masyarakat adat berjuang agar keberadaan mereka di negara ini diakui dan hak-hak mereka dilindungi oleh pemerintah.

Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengatur tentang masyarakat adat, namun hingga sekarang belum ada undang-undang masyarakat adat. “Saya yakin ini karena sebelumnya tidak ada perutusan politik masyarakat adat di parlemen,” tegas Abdon. Saat ini RUU mengenai Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sedang dibahas oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sesuai penunjukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei 2013.

Wakil Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia tersebut, Sapei Rusin, menganggap 2253 komunitas adat anggota AMAN sebagai liga pemilih yang memiliki tujuan-tujuan sendiri yang pasti. “Apa pun partainya, masyarakat adat memilih yang mewakili perjuangan mereka,” kata Sapei.

Menurut Teten Masduki, mantan calon wakil gubernur Jawa Barat untuk 2013-2017 mendampingi Rieke Dyah Pitaloka, pemilih politik di Indonesia masih antipartai. Kampanye politik biasanya membutuhkan dana besar. “Tetapi perutusan masyarakat adat telah memiliki modal sosial,” kata aktivis antikorupsi itu.

Konsolidasi Perutusan Politik Masyarakat Adat untuk Parlemen ini berlangsung dua hari. Pada akhir hari kedua (17/12), para peserta diharapkan menghasilkan dokumen strategi dan kesepakatan politik perutusan masyarakat adat, yang nantinya akan dikawal oleh masyarakat adat nusantara dan AMAN sebagai organisasi.

Kontrak Politik Kader Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

$
0
0

 

Kontrak Politik Kader AMAN

Jakarta 17 Desember 2013-Keputusan Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak Kongres II-III dan Ke IV di Tobelo tahun 2012 mendorong dan membekali kader-kadernya memasuki arena politik agar dapat menempatkan utusan-utusan terbaiknya duduk di dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat tingkat daerah maupun nasional, sebagai utusan masyarakat adat diharapkan bisa membawa perubahan.

Untuk melaksanakan amanat Kongres tersebut Pengurus Besar AMAN menyelenggarakan rangkaian kegiatan ‘Konsolidasi Perutusan Politik Masyarakat Adat untuk Parlemen’ yang berlangsung dari tanggal 14-17 Desember 2013 di Jakarta.  Narasumber dalam rangkaian kegiatan ini menghadirkan Teten Masduki, Sarah Lery Mboeik, Isjaya Kaleden, Philipus Kami dan Betrix Hendra.
Perjanjian Kesepakatan

Sebelum acara penandatanganan kesepakatan kerja sama dilangsungkan, Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam sambutannya menyampaikan,” ada satu prinsip kalau mau masuk arena politik yakinilah dalam berpolitik itu tidak ada kekalahan, selalu ada yang bertambah, karena politisi yang baik itu mengabdikan diri pada konstituennya. Kita percaya politisi yang benar selalu membela, melindungi dan melayani. Jadilah politisi yang benar, bukan pencari jabatan politik,” papar Sekjen AMAN, lebih jauh beliau mengatakan bahwa tugas AMAN adalah memastikan bahwa para kader utusan masyarakat adat memenangkan pertarungan pemilihan legislatif 2014,” pungkas Abdon Nababan .

Ada delapan orang utusan masyarakat adat yang maju untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mereka adalah, Mahir Takaka DPD Sulawesi Selatan, FX Mecer DPD Kalimantan Barat, I Made Suarnata DPD Bali, Maria Goreti DPD Kalimantan Barat, Berry N Furqan DPD Kalimantan Selatan. Sementara untuk pemilihan DPR RI Mukti Baba, Maluku Utara dan Idham Arsyad. Dalam acara Konsolidasi Perutusan Politik Masyarakat Adat ini ada 78 orang utusan masyarakat adat yang hadir.

Secara keseluruhan ada sekitar 180 orang kader politik AMAN resmi terdaftar sebagai calon legislatif untuk DPD RI lewat jalur independent (non-partai politik) sementara untuk caleg DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, tersebar lewat jalur partai-partai politik.

Kader utusan masyarakat adat diharapakan dapat mengawal dan melaksanakan beberapa hal penting diantaranya Pelaksanakan TAP MPR No IX tahun 2001, Pelaksananaan Amandemen ke-2 UUD 45, Memperjuangkan penetapan dan pengesahan RUU (PPHMA)  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Pelaksanakan Putusan MK No 35 tahun 2012 dan banyak lagi hal lainnya, dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat adat. *** JLG

Antara Ritus dan Angklung Bali

$
0
0

Pembukaan Pelatihan Ekonomi Kreatif

Denpasar 5 Desember 2013 – Budaya Bali masih kuat dipegang teguh oleh masyarakat adatnya. Tidak luntur ditelan perkembangan jaman serta memberi inspirasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Bali dipilih  menjadi tempat penyelenggaraan training-workshop “Pengembangan Terpadu Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Berbasis Keragaman Budaya, Mewujudkan Peradaban Manusia Indonesia yang Kreatif, Inovatif dan Produktif” tanggal 28 Nov s/d 3 Des 2013 lalu di Banjar Kiadan, Desa Adat Plaga, Bali.

“Bali adalah contoh nyata pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis masyarakat adat. Untuk belajar dari pengalaman nyata inilah pelatihan dilakukan di Banjar Kiadan dan Desa Tenganan yang merupakan bagian dari Jaringan Ekowisata Desa (JED),” Sekertaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam sambutannya.

Fasilitator pelatihan ini dari  Yayasan Wisnu dengan proses belajar selama 6 hari didampingi Rizaldi Siagian, I Gede Astanjaya dan Mahir Takaka-Deputi III PB AMAN.

DR. G.R. Lono Lastoro Simatupang, MA berpendapat bahwa dalam pergaulan global, terutama yang berhubungan dengan seni pertunjukan Indonesia, suatu wilayah budaya harus memberlakukan strategi yang tepat. Menurutnya, globalisasi memberikan dua paradoks yaitu peluang dan batas. Kedua hal inilah yang mesti dihadapi dengan strategi, sehingga peluang tidak kebablasan atau tanpa batas dapat dihindari. Sebab batasan itu sendiri tidak untuk mematikan kreatifitas atau membatasinya dengan begitu ketat yang mencitrakan stagnasi.

Simatupang menggambarkan bahwa masyarakat adat Bali adalah contoh yang tepat dalam menjalankan strategi ini. Sebab di Bali terdapat kesupelan dan sekaligus keketatan yang terlihat dalam komprominya terhadap berbagai pengaruh. Termasuk pengaruh yang datang dari luar Bali, namun tetap memegang inti sari budayanya dengan erat. Contoh kongkritnya adalah Angklung Bali yang mulai ditampilkan dalam event Festival Seni Budaya Bali.

Angklung yang dimaksud di sini bukan seperti musik multitonal (bernada ganda oktaf) yang secara umum dikenal sebagai musik tradisi dalam masyarakat berbahasa Sunda.

Angklung Bali masuk dalam golongan “Barungan Madya”. Di Bali Selatan Angklung hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada, keduanya dalam pentatonik selendro cina.  Angklung klasik-tradisional dimainkan untuk mengiringi upacara tanpa tari-tarian. Angklung biasanya digunakan untuk mengiringi ritual Panca Yadnya, lima upacara suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu Bali dalam mencapai kesempurnaan hidup. Mulai dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Wedana, Manusia Yadnya, Resi Yadnya. Dalam tetabuhan klasik Gamelan Bali, angklung dianggap sebagai cikal bakal dari Gamelan Gong Kebyar.

Gamelan Angklung memegang peran penting dalam upacara adat dan keagamaan Hindu Bali. Peneliti dari STSI Denpasar mencatat ada 15 repetoar klasik dalam ranah Gamelan Angklung Bali yang sampai sekarang terus terjaga kelestariannya dalam upacara Manusia Yadya didukung oleh seluruh  Banjar di Bali (lembaga adat).  Gamelan Angklung lahir lebih dulu ketimbang Gamelan Gong Kebyar yang kini berperan mengisi prosesi adat dan budaya Bali. Gamelan Angklung hanya ditampilkan dalam upacara keagamaan.

Angklung Bali menjadi Gebyar

Sejak Bali Art Festival tahun 2008 kreasi baru Angklung Kebyar mulai ditampilkan. Kebyar disini artinya gempita/ menggelegar. Ada penambahan instrumen cymbal (ceng-ceng gede) instrumen yang biasanya dipakai untuk blaganjuran, musik prosesi didominasi gong dan rampak gendang Bali, dengan dinamik lebih keras dan enerjik. Sekarang beberapa  kabupaten sudah menggelar festival gamelan Angklung Kebyar sendiri, antara lain Kabupaten Badung.

Kebudayaan Bali erat hubungannya dengan ‘Desa Kala Patra’ (ruang, waktu dan keadaan) artinya budaya Bali selalu beradaptasi dengan kondisi jaman. Musik yang tadinya diperuntukkan hanya untuk upacara, bisa saja ditampilkan untuk hal-hal lain, asalkan syarat-syarat untuk hal tersebut sudah terpenuhi dan tidak melanggar norma hukum adat. “Musik gamelan kreasi baru maupun klasik bukan masalah penting, karena yang terpenting adalah kepekaan melihat perbedaan. Bisa membedakan mana perutukan yang klasik dan mana yang untuk kreasi baru,” demikian pendapat I Wayan Sadra (Alm) semasa hidup.

Sejak Walter Spies berhasil mencangkokkan sendratari Rama & Shinta dalam tari Kecak pada tahun 30-an, telah tumbuh kesadaran pada masyarakat Bali akan pentingnya menggelar Festival Gamelan secara berkala. Maka sejak itu di Pulau Bali, marak digelar  berbagai macam festival hingga ke tingkat desa. Pada tahun 1971 dilangsungkan sebuah seminar mengenai kebudayaan Bali. Seminar ini dihadiri oleh para seniman, budayawan dan cendikiawan Bali. Mereka diharapkan bisa memberi masukan untuk mencermati, sejauh mana toleransi budaya Bali bisa menerima pengaruh budaya dari luar.

Sudah sejak lama para pemangku adat Bali, mempertimbangkan secara matang langkah apa yang harus diambil mengantisipasi setiap perkembangan jaman. Budaya Bali memang kompromistik, akan tetapi pada sisi lain masih memegang erat inti sari kebudayaannya. *****Jeffar Lumban Gaol

 

 

Teluk Kao Tercemar Masyarakat Adat Mendesak Pemerintah Cabut Izin PT NHM

$
0
0

PT. NHM Dapat Emas, Masyarakat Dapat Limbah

Ternate – Massa aksi yang tergabung dalam Front Penyelamat Teluk Kao, pada hari Selasa, 17 Desember 2013 turun ke jalan mendesak pemerintah segera mencabut izin Kontrak Karya PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM), perusahan tambang emas asal Australia yang melakukan penambangan di wilayah adat Suku Pagu, Malifut, Halmahera Utara.

Aksi yang melibatkan 24 organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswa (AMAN Malut, BPAN Malut, PEREMPUAN AMAN, Togamaloka, FKPMM, Hipma Moro, KPMG, Hikmat, Himalok, Gamhas, BEM Faperta, BEM Perikanan, BEM FKIP, BEM Sastra, BEM Fatek Unkhair, BEM Hukum Unkhair, BEM Ekonomi, LMND, HMI, IMM, Samurai, Baret, HPMK, Pembebasan) dengan jumlah massa berkisar 200-an orang di Kota Ternate.  Mereka mulai melakukan start dari Kampus UMMU, STKIP dan UNKHAIR, lalu menuju ke RRI terakhir di Eks. Kantor Gubernur Maluku Utara.

Dalam orasinya koordinator demonstran Masri Anwar mengatakan, Teluk Kao saat ini sudah tercemar oleh limbah perusahan tambang PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM), sehingga menyebabkan hilangnya hutan adat, hilangnya mata pencaharian warga. Tiga belas orang orang warga adat menjadi korban karena terjangkit penyakit benjol – benjol dan gatal – gatal karena mengkonsumsi ikan dan air sungai yang diduga sudah tercemar, bahkan mengancam masa depan 5.000 jiwa masyarakat yang hidup disekitar.

”Dulu Teluk Kao menghasil ikan teri terbesar di Indonesia timur, tapi ikan tersebut hilang saat PT. NHM melakukan kegiatan penambangan dan membuang limbahnya ke sungai dan Teluk. Saat ini juga masyarakat tidak bisa lagi mengkonsumsi air sungai, karena sungai sudah tercemar, 13 orang sudah menjadi korban, jadi NHM harus dihukum seberat – beratnya. Mereka mengambil emas dan limbahnya untuk kita,” teriak Masri Anwar Koordinator Lapangan

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan, mereka mendesak pemerintah segera melakukan audit lingkungan secara jujur dan transparan. NHM harus bertanggungjawab atas pelanggaran adat, hukum dan lingkungan. Mendesak pemerintah untuk memberikan sangsi hukum kepada PT NHM dan memberikan perlindungan hukum ke masyarakat adat dan lokal. Mendesak  pemerintah agar tidak memperpanjang kontrak karya PT. NHM. Mendesak PT. NHM untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula di Teluk Kao dan sekitarnya.

Selain berorasi, mereka juga membagi – bagikan selebaran yang berisikan kondisi masyarakat di Teluk Kao serta menandatangi petisi di atas lembaran kain putih. Masyarakat dan media juga ikut terlibat memberikan tanda sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan masyarakat. Sekitar pukul 15.30 Wit, masa aksi kemudian membubarkan diri dan kembali ke Rumah AMAN, berkoordinasi dan membicarakan agenda lanjutan.***Abduran Jafar.

Viewing all 1657 articles
Browse latest View live